Inibaru.id – Saat Sultan Hamengkubuwono X merelokasi pedagang kaki lima (PKL) Malioboro pada 1 Februari 2022 lalu, pelbagai alasan dilontarkannya. Gubernur DI Yogyakarta itu berdalih, relokasi sejatinya sudah direncanakan sejak belasan tahun silam.
Menurutnya, lapak PKL nggak sesuai tempatnya dan pihaknya tengah berusaha mengembangkan sistem jaringan pejalan kaki. Alasan lain, dia berniat mengembalikan Malioboro sebagai kawasan "Sumbu Filosofi", istilah yang juga diusulkan ke UNESCO.
Sejak lama, jalan yang konon sudah ada sebelum Keraton Yogyakarta berdiri ini memang dikenal sebagai kawasan yang trotoarnya begitu sesak dijejali PKL. Nah, para PKL itulah yang kemudian ditertibkan (baca: digusur), dipindahkan ke lokasi baru yang masih berada di lokasi Jalan Malioboro.
Mereka diminta menempati "rumah" baru, yakni Teras Malioboro 1 dan 2. Teras Malioboro 1 adalah bekas Gedung Bioskop Indra, sementara Teras Malioboro 2 merupakan bekas Gedung Dinas Pariwisata. Pemprov juga membangun lapak-lapak bersekat di gedung yang sudah direnovasi tersebut. Menurut saya, bangunan itu lumayan modern dan menarik perhatian.
Soni Ferdianto, pedagang pertama yang saya temui saat masuk Teras Malioboro 1 mengaku senang. Pedagang baju itu merasa beruntung karena mendapatkan lapak tepat di sebelah pintu masuk sehingga pengunjung pasti akan mampir ke lapaknya dulu begitu tiba di gedung tersebut.
"Yang saya kasian adalah teman-teman yang dapat lapak di belakang; agak sepi,” ungkapnya sembari melipat baju-baju yang nggak jadi dipinang pembeli.
Pendapatan yang Belum Stabil
Meski menjadi salah satu lapak paling strategis, Soni mengatakan bahwa transisi ke Teras Malioboro dari lapak sebelumnya yang ada di bahu jalan nggak dimungkiri telah menggerus keuntungannya. Hal ini semakin memperparah neraca keuntungannya yang sudah terjun bebas selama pandemi Covid-19.
"Omzet bulanan saya mungkin tersisa 30 persen saja sekarang," kata dia, lalu tersenyum getir.
Hal serupa juga dialami Bambang Riyadhi, pelukis jalanan yang terpaksa memindahkan lapaknya ke dalam Teras Malioboro. Sipe, begitu dia biasa disapa, agaknya nggak seberuntung Soni karena harus menerima hasil undian yang menempatkan dirinya jauh ke dalam gedung.
Bahkan, saya miris membayangkan gimana seniman paruh baya ini menjalankan usahanya. Siapa pun tahu gimana pelukis jalanan bekerja. Dia seharusnya berada di tepi jalan, menawarkan jasa melukis untuk wisatawan yang melintas di depan lapaknya; hal yang tentu saja sulit dilakukannya sekarang ini.
Namun, Sipe mengaku mencoba meneguhkan hati. Di lapak indoor barunya itu, dia bertahan dengan memajang berbagai lukisan bikinannya yang hanya dibanderol seharga Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu tersebut.
"Pendapatan yang stabil, belum. Tapi, lumayan untuk bikin dapur tetap mengepul," ujarnya, lalu terkekeh.
Bak Bumi dan Langit
Teras Malioboro merupakan bangunan tiga lantai bergaya industrial yang menyediakan fasilitas memadai. Setiap pedagang diberi jatah lapak kayu berukuran 1,5 x 1,5 meter yang disekat dengan teralis hitam. Namun, seperti yang juga dikeluhkan pedagang, bangunan itu cukup panas; mungkin karena lapak antarpedagang cukup padat.
Meski begitu, Teras Malioboro lumayan memanjakan pengunjung dengan jalan yang lumayan longgar dan fasilitas seperti elevator dan eskalator, di samping tangga manual, untuk naik ke lantai kedua dan ketiga. Menurut saya, fasilitas ini penting agar pengunjung nggak malas menyambangi lantai atas.
Sayangnya, barang jualan di lantai atas yang nggak berbeda dengan lantai dasar membuat pengunjung terlihat ogah naik ke lantai kedua atau ketiga. Bak bumi dan langit, saya menyaksikan sendiri gimana lantai atas terlihat lengang sementara lantai dasar sedang dipadati pengunjung.
Sama seperti saat masih di selasar toko atau trotoar Jalan Malioboro, lapak-lapak di Teras Malioboro juga didominasi pernak-pernik dan buah tangan, seperti perhiasan, pakaian, aksesori, hingga ornamen rumah. Sementara, untuk lapak-lapak bakpia yang dulu ada di depan Pasar Beringharjo, kamu bisa menemukannya di lantai ketiga.
Emi, salah seorang penjual penganan khas Yogyakarta itu mengatakan, lapaknya berada jauh dari jangkauan. Inilah yang menurutnya membuat omzetnya jauh menurun, tentu saja selain karena dihantam pandemi.
“Mayoritas wisatawan malas naik sampai lantai atas (untuk mencari bakpia),” gerutu Emi singkat sembari memasukkan bakpia yang saya pesan. Mukanya terlihat kusut.
Kondisi Jalan Malioboro Terkini
Nggak hanya pelapak pernak-pernik dan buah tangan yang dipindahkan, para pedagang makanan di sekitar kawasan jalan bersejarah itu juga diangkut ke gedung Teras Malioboro. Mereka menempati food court sederhana di satu sudut di bagian utara lantai dasar.
Kalau lapar, kamu bisa mencicipi nasi goreng, mie ayam, bakso, hingga soto yang dulu menemani perburuan oleh-olehmu saban ke Yogyakarta di sini. Tempatnya lumayan asyik dan biasanya bakal semakin ramai pada malam hari.
Oya, kalau semua pedagang diboyong ke Teras Malioboro, gimana kondisi Jalan Malioboro saat ini? Yang pasti, jauh lebih lengang dan, err, terasa aneh. Nggak ada lagi acara berdesakkan dengan wisatawan lain di trotoar atau mendengar pengamen jalanan bersuara merdu di sudut jalan.
Taufiq Yudi, seorang wisatawan yang berpapasan dengan saya di salah satu selasar toko terkenal di Jalan Malioboro juga mengungkapkan merasakan keanehan itu. Menurutnya, relokasi PKL Malioboro cukup berhasil karena jalan itu jadi lebih rapi.
"Jadi tertata rapi sih, tapi 'rasa' Malioboro-nya jadi berkurang," ucapnya berterus terang.
Saya sepakat. Di jalan ini, beberapa toko yang dulu selalu ramai kini juga tampak tutup, entah karena sedang libur atau gulung tikar dihantam pagebluk. Sayangnya, waktu yang terbatas membuat saya harus mengakhiri penelusuran di Malioboro, termasuk ke Teras Malioboro 2.
Menurut saya, setiap transisi dan perubahan bakal selalu terasa berat. Pro dan kontra juga akan terus menyertainya. Namun, selama tujuannya baik dan ada ruang diskusi di antara kontradiksi ini, semuanya pasti akan mengarah pada situasi yang jauh menguntungkan untuk semuanya. Sepakat, Millens?(Kharisma Ghana Tawakal/E03)