Inibaru.id - Keinginan menjadi wartawan bukanlah cita-cita yang sulit diwujudkan saat ini. Pilihan media yang beragam serta akses informasi yang jauh lebih mudah dijangkau sangat mendukung profesi tersebut. Namun, privilese ini agaknya nggak dimiliki Retno Shanti Ruwyastuti saat itu.
Hidup pada era Orde Baru yang menyensor pers nggak mematahkan semangat Ketua Komisi Asosiasi Televisi Swasta Indonesia ini untuk menjadi jurnalis. Hal itu diungkapkannya saat didapuk sebagai salah satu pembicara dalam acara Nongkrong Tobat Santrendelik yang digelar di Kota Semarang pada akhir Juli lalu.
Baca Juga:
Dari Sari Tebu Jadi Manisnya Gula TumbuDi hadapan ratusan santri yang mengikuti pengajian rutin tersebut, perempuan yang menghabiskan masa kecilnya di Semarang itu banyak bercerita tentang bagaimana dia menggapai cita-cita yang mulai dia rintis jauh sebelum meraih gelar sarjana di Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
“Memulai karier dengan magang pada sebuah majalah berita di Jakarta, saya ditempatkan di desk Kriminal. Setelah lulus S1, kuliah S2 program Produksi Penyiaran di Boston University di Kota Boston, Amerika Serikat, lalu bekerja di CNN Internasional,” ungkap Shanti yang malam itu berduet dengan ustaz kenamaan Semarang, Dr H Awaluddin Pimay Lc MA.
Menciptakan Perubahan
Shanti menekankan, untuk menggapai cita-cita yang besar, banyak yang harus diperjuangkan, diantaranya melakukan perubahan, sebagaimana tema pengajian malam itu, yakni “Suro Mania” yang banyak merefleksikan kisah hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah pada 622 M.
“Saya adalah seorang introver, yang terbilang kesulitan untuk berbicara dengan orang lain. Namun, karena punya keinginan kuat menjadi jurnalis, konsekuensinya saya harus membuat perubahan besar, harus berani mewawancarai narasumber” ujar perempuan yang dipinang Metro TV setelah bekerja di CNN selama enam tahun tersebut.
Tak hanya siap berubah, kemampuan beradaptasi dan melihat situasi sekitar juga penting dimiliki, terutama saat bersekolah atau bekerja di luar negeri.
“Jangan gegar budaya. Kenali budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, bergaul dengan warga lokal, dan ikuti berita daerah untuk update informasi serta memahami isu terkini. Tapi, jangan sampai melupakan budaya sendiri, karena itu adalah jati diri yang justru punya nilai plus,” paparnya.
Bagaimana jika ingin menambah uang saku padahal visa kita visa pelajar? “Kita bisa mencari pekerjaan di lingkungan kampus,” kata Shanti. “Hati-hati jika yang ada yang menawarkan pekerjaan di luar kampus dengan gaji tinggi, padahal kita masih memakai visa pelajar. Ini bisa menjurus ke hal kriminal,” imbuhnya.
Membangun Kredibilitas
Setelah hampir enam tahun bekerja di CNN Internasional yang bermarkas di Atlanta, negara bagian Georgia, Amerika Serikat, Shanti memutuskan kembali ke Indonesia untuk menerima pinangan Metro TV. Ia tidak menyesal meninggalkan karier di CNN yang sudah mapan untuk mendirikan televisi berita pertama Indonesia. Shanti bahkan bergabung beberapa bulan sebelum Metro TV mengudara.
Menurutnya, meniti karier di dunia jurnalistik dengan sepenuh hati membangun kredibilitasnya di industri media. Bukan hanya jurnalistik, imbuhnya, semua profesi harus dilakukan sepenuh hati.
Upaya Shanti untuk membangun kredibilitas di dunia jurnalistik tidaklah sia-sia. Selama berkarier di Metro TV, banyak hal dicapainya, termasuk menginisiasi program dokumenter sejarah Metro Files, menjadi Wakil Pemimpin Redaksi, hingga kini dikenal sebagai salah satu pakar media di Indonesia.
“Sekali lagi, selain tekun belajar, berjejaring dan beradaptasi, mencapai cita-cita harus dimulai dengan menciptakan perubahan,” tegasnya.
Sungguh inspiratif ya, Millens? Yang perlu dicatat, untuk meraih hal yang penting, perubahan yang dilakukan juga harus sebanding. (Siti Khatijah/E03)