Inibaru.id - Hingga kini, isu perubahan iklim terus menghadapi tantangan serius, baik di tingkat nasional maupun global. Berbagai persoalan, mulai dari komitmen pemerintah hingga kesadaran masyarakat, menjadi penghambat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Dalam konferensi bertajuk “Kesiapan Pemerintah Indonesia Menghadapi Isu Perubahan Iklim: Arah Ambisi, Tantangan Ekonomi, Diplomasi, dan Isu Transisi Berkeadilan” yang diselenggarakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) dan ClimateWorks, Mahawan Karuniasa, anggota Indonesia Stakeholder Steering Group (ISSG) sekaligus Founder/CEO Environment Issue, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
Dia menjelaskan, Indonesia telah mengalami lebih dari 5.000 bencana alam akibat fenomena hidrometeorologi dalam dua dekade terakhir. Kondisi ini juga terjadi di negara lain, seperti banjir ekstrem di Valencia, Spanyol, di mana curah hujan setahun turun dalam waktu delapan jam. Selain itu, dia juga menyoroti ancaman dari kenaikan suhu bumi yang sudah mendekati ambang batas Paris Agreement.
“Sayangnya di tahun 2024 ini, kenaikan suhu permukaan bumi akan meningkat lebih dari 1,5 derajat Celsius. Karena tahun lalu di 2023 sudah 1,4.derajat Celsius. Akhir Desember, BMKG di seluruh dunia akan mengeluarkan angka terbaru. Persoalannya untuk mengatasinya rumit dan tidak mudah. Produksi emisi Indonesia di tahun lalu kurang lebih 1 miliar ton. Kalau total seluruh dunia, kalau dijumlah kurang lebih 56 miliar ton. Paling banyak menghasilkan adalah Amerika Serikat. Melihat sejarahnya, paling banyak menghasilkan 500 giga ton,” ujar Mahawan, Sabtu (23/11/2024).
Tantangan Pendanaan dan Komitmen Nasional
Mahawan menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen mengurangi emisi dan tentunya mitigasi perubahan iklim membutuhkan sumber daya yang besar. “Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi sebanyak 32 persen. Beberapa waktu yang lalu sudah membuat rencana. Untuk mengimplementasi butuh kapasitas, butuh teknologi dan butuh duit," kata Mahawan.
Lebih lanjut Mahawan membaca dari Reuters, Presiden Prabowo mengatakan akan mewujudkan emisi bersih pada 2050 atau lebih cepat. Target negara maju adalah 2050. Namun, hitungan ini nggak sesuai dengan hitungan KLHK yaitu pada 2060.
Sementara itu, peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menambahkan bahwa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan memerlukan biaya tinggi, sekitar Rp4.002,4 triliun hingga 2060. “Kebutuhan pendanaan mitigasi mencapai Rp308 triliun per tahun, jauh di atas anggaran pemerintah sebesar Rp81,4 triliun,” ujarnya.
Heri juga menggarisbawahi kendala lain, seperti tenaga kerja yang belum terlatih di sektor energi hijau, ketergantungan pada tenaga asing, serta infrastruktur dan regulasi yang masih belum memadai.
Peran Kelompok Rentan dalam Isu Perubahan Iklim
Selain tantangan teknis dan finansial, inklusivitas menjadi sorotan penting. Farhan Helmy, Presiden Pergerakan Penyandang Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia, menilai bahwa kelompok difabel sering terabaikan dalam kebijakan perubahan iklim.
“Prinsip ‘no one left behind’ dan ‘nothing about us without us’ harus menjadi dasar dalam kebijakan inklusif. Kelompok difabel sering kali merasakan dampak yang lebih berat, namun jarang dilibatkan,” tegasnya.
Farhan mengajak semua pihak, termasuk pemerintah, media, dan komunitas, untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran tentang pentingnya membangun bumi yang lestari dengan melibatkan semua kelompok, termasuk yang rentan.
Literasi Iklim yang Masih Rendah
Bambang Brodjonegoro, Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi, menyoroti rendahnya kesadaran masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. Dia mencontohkan fenomena banjir rob di pesisir utara Jawa yang hanya dipahami segelintir orang sebagai akibat dari pemanasan global.
Menurut Bambang, negara maju juga harus meningkatkan komitmen pendanaan mitigasi risiko perubahan iklim. “Komitmen pendanaan di level internasional semakin melemah, sementara tantangan dalam negeri masih sangat besar,” ungkapnya.
Para narasumber sepakat bahwa tantangan perubahan iklim membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Baik pemerintah, masyarakat, kelompok rentan, maupun komunitas internasional, harus bekerja sama untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan. Hanya dengan langkah nyata, ancaman perubahan iklim dapat diminimalkan demi keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Semakin lama Bumi makin nggak baik-baik saja. Sudah seharusnya kita segera mengambil langkah nyata untuk menyelamatkannya meskipun tampak kecil. Kita bisa memulainya dari rumah seperti berhenti berbelanja fast fashion dan menggunakan produk ramah lingkungan. Gimana menurutmu, Millens? (Siti Zumrokhatun/E10)