Inibaru.id – Kalau kami membicarakan tentang puasa, pasti yang mendominasi perbincangan tentang menahan lapar, dahaga, dan syahwat, kan, Millens? Ternyata, konsep puasa ini memiliki banyak jenisnya. Salah satunya adalah pemikiran tentang puasa oleh Imam Al-Ghazali.
Saya berkesempatan berbincang secara daring mengenai ini dengan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, peneliti dan mahasiswa doktoral University of Queensland, Australia. Menurut Umar, panggilan akrabnya, Imam Al-Ghazali membagi puasa menjadi tiga jenis; puasa awwam, puasa khawwas, dan puasa khawasil khawwas.
Menurut Umar, secara singkat puasa awwam dapat diartikan sebagai tindakan untuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, puasa khawwas berarti menjaga diri dari hal-hal yang nggak disukai Allah, sementara puasa khawasil khawwas berarti menjaga hati dan pikiran dari perbuatan atau pemikiran yang dapat merusak kemurnian kita kepada Allah.
“Ini konsep tasawwuf; konteks Al-Ghazali adalah dalam pemurnian hati,” tullis Ketua Ranting Istimewa Muhammadiyah Queensland ini dalam surat elektronik, Jumat (15/5).
Puasa khawasil khawwas ini nggak sekadar menjauhkan diri pada apa yang nggak dikehendaki Allah, tatapi juga menjauhkan hati dan pikiran kita dari segala yang berasal selain dari Allah.
“Saya ingin membawanya ke dalam konteks yang lebih sosial, yaitu memahami puasa khawwasul khawwas ini sebagai upaya menjaga masyarakat dari perilaku zalim, koruptif, dan tidak bertanggungjawab atas apa yang diperbuat, apalagi penyalahgunaan kekuasaan dan sejenisnya,” tambah Umar.
![Berpuasa bukan hanya tentang menahan lapar, dahaga, dan syahwat. (Inibaru.id/ Gregorius Manurung)](/_next/image?url=https%3A%2F%2Fredaksi.inibaru.id%2Fmedia%2F5032%2Flarge%2Fnormal%2Ffd72d25d-2712-405a-8ce2-1a8b51a35d43__large.jpg&w=3840&q=75)
Menurut Umar, puasa khawasil khawwas, bahkan puasa secara umum, memiliki dimensi sosial dalam perilaku manusia. Hal ini dikarenakan puasa nggak sebatas pada ibadah ritual yang dilaksanakan secara individual. Puasa bagi Umar berarti menahan diri atas hawa nafsu – yang bukan sebatas lapar, dahaga, dan syahwat – karena ketakutan kita pada Allah semata. Hal ini bisa direfleksikan menjadi menahan diri dari berbuat zalim ke sesama manusia dan melakukan kerusakan pada alam.
Hal ini berhubungan dengan penciptaan manusia sendiri, yaitu sebagai khalifah di dunia. Menurut Umar, Allah men-tanfidz-kan Nabi Adam sebagai khalifatullah fil ardli, yaitu penanggung jawab di muka bumi. Tanggung jawab di sini, menurut Umar, bermaksud bahwa manusia perlu menjaga dan mengelola semua ciptaan Allah yang ada di muka bumi, baik yang hidup maupun yang mati.
Maka dari itu, dalam praktiknya puasa nggak terbatas pada mengajak kita menjadi individu yang jauh dari hal-hal yang bukan dari Allah. Berpuasa, menurut Umar, juga mengajak kita menjadi masyarakat yang memiliki kepedulian sosial dan nggak merusak alam tempat kita hidup.
“Puasa memberikan kita pembelajaran sederhana untuk itu sebenarnya,” tulis penulis buku Puasa dan Transformasi Sosial (2017) ini.
Kalau menurutmu, puasamu masuk jenis yang mana, Millens? (Gregorius Manurung/E05)