Inibaru.id - "Brain rot" adalah istilah slang yang sering digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana seseorang merasa otaknya "mati rasa" akibat terlalu lama terpapar konten yang kurang bermanfaat atau adiktif, seperti video pendek, game online, atau meme di media sosial.
Istilah ini kerap digunakan secara humoris, tetapi bisa mencerminkan masalah serius, terutama di kalangan Generasi Alpha —anak-anak yang lahir setelah tahun 2010 dan tumbuh bersama teknologi canggih sejak usia dini.
Penyebab Utama Brain Rot di Gen Alpha
1. Overstimulasi dari Teknologi
Anak-anak Gen Alpha tumbuh dengan akses mudah ke smartphone, tablet, dan media sosial. Konten cepat dan terus-menerus, seperti video pendek di platform seperti TikTok, membuat otak mereka terbiasa dengan kepuasan instan. Akibatnya, mereka sulit fokus pada tugas-tugas yang membutuhkan konsentrasi lebih lama.
2. Kurangnya Aktivitas Fisik
Waktu yang dihabiskan di depan layar sering kali menggantikan aktivitas fisik atau permainan kreatif. Kurangnya gerakan nggak hanya berdampak pada kesehatan fisik tetapi juga perkembangan otak.
3. Konten yang Nggak Edukatif
Meskipun teknologi menyediakan banyak peluang pembelajaran, banyak anak yang menghabiskan waktu untuk konten hiburan yang tidak memberikan manfaat edukasi. Hal ini dapat menyebabkan pola pikir yang dangkal dan kurangnya kemampuan berpikir kritis.
Dampak Brain Rot pada Gen Alpha
- Menurunnya Kemampuan Konsentrasi: Anak-anak menjadi sulit fokus dalam jangka waktu lama, baik di sekolah maupun dalam aktivitas lainnya.
- Kreativitas yang Terbatas: Paparan konten pasif menghambat kemampuan mereka untuk berpikir kreatif dan memecahkan masalah.
- Masalah Kesehatan Mental: Kebiasaan konsumsi konten berlebihan dapat memicu kecemasan, rasa nggak puas, atau bahkan isolasi sosial.
- Ketergantungan pada Teknologi: Anak-anak yang terbiasa dengan teknologi sejak dini cenderung mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan tanpa akses digital.
Baca Juga:
Tahun 2025, Generasi Beta LahirCara Mengatasi Brain Rot pada Gen Alpha
1. Batasan Waktu Layar
Orang tua dan pendidik perlu menetapkan batasan waktu penggunaan teknologi dan memastikan anak-anak memiliki waktu untuk aktivitas lain, seperti membaca, bermain di luar, atau berinteraksi dengan keluarga.
2. Kurikulum yang Mengedepankan Kreativitas
Sekolah dapat memperkenalkan kegiatan yang menstimulasi otak, seperti seni, olahraga, atau eksperimen sains, untuk menyeimbangkan dampak teknologi.
3. Pemilihan Konten Berkualitas
Arahkan anak-anak untuk menggunakan aplikasi edukasi atau menonton konten yang memperkaya pengetahuan mereka, bukan hanya untuk hiburan.
4. Meningkatkan Interaksi Sosial
Orang tua bisa mendorong anak-anak untuk bermain dengan teman sebayanya secara langsung, sehingga mereka belajar keterampilan sosial yang penting.
Bisa dikatakan bahwa fenomena "brain rot" di kalangan Gen Alpha bukan sekadar istilah, melainkan sebuah peringatan akan pentingnya penggunaan teknologi secara bijak.
Dengan bimbingan yang tepat dari orang tua, pendidik, dan masyarakat, anak-anak Gen Alpha dapat tumbuh menjadi generasi yang nggak hanya melek teknologi tetapi juga kreatif, kritis, dan seimbang dalam kehidupan digital dan nyata.
Kalau menurutmu, fenomena brain rot ini juga dialami milenial apa nggak, Millens? (Siti Zumrokhatun/E05)