Inibaru.id - Sore yang syahdu. Jejak sejarah itu kembali dikenang setelah sekian lama hanya menjadi mitos dan cerita rakyat. Rakyat berkerumun, anak-anak sekolah duduk di depan para penggiat sejarah merapatkan barisan, menghadiri Pameran Ratu Kalinyamat.
Di antara mereka, turut hadir Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, salah seorang sosok penting di balik penyematan gelar "Pahlawan Nasional" kepada penguasa Jepara sekitar awal abad ke-16 tersebut, yang hari itu juga didapuk sebagai pembuka acara.
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, perhelatan ini bukan sekadar pameran, tapi juga jendela sejarah yang ditarik lebar agar generasi kini bisa menatap jauh ke masa ketika Jepara menjadi episentrum kekuatan maritim Nusantara.
“Ini bukan sekadar mengenang, tapi merawat ingatan, membumikan semangat seorang pemimpin yang dalam diamnya mampu menaklukkan sejarah,” tutur perempuan yang menginisiasi pameran ini bersama Yayasan Dharma Bakti Lestari tersebut.
Mengenang Ratu Kalinyamat

Pada abad ke-16, saat Eropa sedang sibuk berebut wilayah kekuasaan dan Portugis berupaya keras menaklukan seluruh penjuru samudra, muncul sosok perempuan dari Jepara yang mungkin keberadaannya nggak pernah dipertimbangkan sebelumnya.
Dialah Ratu Kalinyamat, perempuan yang nggak hanya memahami gelombang, Perempuan berdarah bangsawan ini berdiri tegak sebagai pemimpin dengan visi lintas samudra. Dia tidak hanya memimpin, tetapi juga memelihara semangat kebangsaan yang melampaui sekat-sekat primordial.
Baca Juga:
Pantik Semangat Maritim lewat Pameran 'Ratu Kalinyamat: Pejuang Bahari Nusantara' di JeparaHisyam Zamroni, salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama di Jepara mengungkapkan, ada satu sisi kepemimpinan sang ratu yang jarang disentuh narasi populer.
“Beliau memiliki talenta historis yang luar biasa. Komposisi kabinetnya sangat heterogen; ada dari Bali, Nusantara Timur, Tiongkok, dan Arab. Tidak ada sekat, hanya kepercayaan pada kompetensi,” ungkapnya.
Ratu yang Menciptakan Peluang

Bayangkanlah sebuah kerajaan yang membuka pelabuhannya untuk saudagar Gujarat, Johor, hingga Malaka. Sebuah negeri pesisir yang menyambut pengrajin dari Tiongkok, mubalig dari Arab, hingga pedagang rempah dari Eropa.
Di pelabuhan Jepara, perbedaan bukan ancaman, melainkan peluang. Islam berkembang dalam wajahnya yang inklusif di sana, berpadu dengan pelbagai budaya yang menyatu.
Masjid yang didirikan Ratu Kalinyamat adalah buktinya. Tak hanya menjadi rumah ibadah, bangunan itu juga merupakan simbol akulturasi dengan bentuk menyerupai pagoda dan hiasan khas Tiongkok yang terukir di dinding tempat ibadah bernama resmi Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan ini.
Inilah potret Islam yang moderat dari masa silam: hidup berdampingan, saling mengisi, dan menyatu dalam iklim maritim yang hangat oleh pertukaran budaya.
Sang Juru Selamat

Nggak hanya di bidang ekonomi dan kebudayaan, Ratu Kalinyamat juga dikenal sebagai jenderal sekaligus ahli perang yang pemberani. Sejarawan menyebutnya sebagai satu dari sedikit perempuan yang memimpin armada laut besar untuk menjadi "sang juru selamat" menantang Portugis di Malaka.
Sedikit informasi, Ratu Kalinyamat setidaknya tercatat dua kali mengirimkan armada perangnya, membuat dunia tercengang mengetahui bahwa Jepara bukanlah wilayah kecil yang bisa ditundukkan dengan meriam dan kolonisasi.
Kini, lebih dari 400 tahun berlalu, semangat itu digores ulang dalam bentuk lukisan, peta kuno, fragmen catatan dari arsip Portugal, dan miniatur kapal-kapal Jepara yang menjadi gambaran armada perang yang pernah mengarungi Laut Jawa hingga Selat Malaka.
“Pameran ini bukan akhir. Ini awal dari perjuangan kolektif kita untuk memastikan nilai nasionalisme dan semangat juang Ratu Kalinyamat tidak sekadar jadi cerita di buku pelajaran,” tegas Nur Hidayat dari Yayasan Dharma Bakti Lestari.
Menjadi Inspirasi, Bukan Sekadar Memori

Pada 2023, Ratu Kalinyamat akhirnya diakui negara sebagai Pahlawan Nasional. Namun, sebagaimana disampaikan Rerie dalam sambutannya di Universitas NU Jepara, pengakuan itu bukanlah puncak.
“Ini baru permulaan dari tanggung jawab besar kita bersama. Kita harus menyebarkan nilai-nilai perjuangan itu, terutama kepada generasi muda,” tegasnya kala itu.
Dulu, Ratu Kalinyamat kerap dikaburkan dalam sejarah. Narasi kolonial seringkali bernada negatif, bahkan melecehkannya sebagai pemimpin “emosional”. Padahal, di balik tiap keputusan politik dan keberaniannya mengangkat senjata, ada visi panjang, yakni menjaga martabat bangsa dan kemerdekaan Tanah Air.
Kini, dengan semangat moderasi, nasionalisme, dan keberanian yang telah ditorehkan Ratu Kalinyamat, Jepara kembali menjadi pusat narasi. Bukan narasi militeristik yang keras, tapi kasih sayang kepada negeri, rakyat, dan masa depan.
Moderasi nasionalisme ala Ratu Kalinyamat bukanlah kompromi, melainkan keberanian untuk memimpin dengan kasih, kecerdasan, dan keterbukaan pada dunia.
Dan di antara napas-napas masa lalu itu, di halaman Masjid Mantingan yang sejuk oleh bayang-bayang pepohonan, sejarah berbisik, mengatakan bahwa sang Ratu tak pernah benar-benar pergi; ia menunggu siapapun yang berani menjadikannya sumber inspirasi alih-alih semata memori. (Imam Khanafi/E03)