Inibaru.id – Keberlimpahan panen warga Desa Pelemsari Kecamatan Sumber, Rembang, Jawa Tengah disyukuri dengan menggelar tradisi sedekah bumi. Salah satu bagian ritus tradisi itu sebuah peperangan.
Wuih, kok syereeem….
Tunggu dulu, Sobat Millens. Ini bukan perang yang dipenuhi nafsu ingin saling membunuh. Ini perang yang dilakukan dengan penuh kegembiraan dan canda tawa. Senjata andalannya pun hanya berupa kepalan nasi yang sudah didoakan pemuka agama setempat.
Ya, seperti dikutip dari Detik.com (16/8/2017), tawur sega atau perang nasi yang dilakukan para pemuda Desa Pelemsari adalah ekspresi rasa syukur atas keberlimpahan panen warga desa itu. Tujuan lain perang nasi itu juga sebagai simbol penolakan terhadap segala bahaya alias tolak bala.
Perlu Millens tahu, tradisi itu sudah berlangsung lama. Tolak bala yang dimaksud adalah hama yang kerap menyerang tanaman petani. Maklum, sebagian besar penduduk Pelemsari adalah petani. Musuh utama petani salah satunya adalah tikus-tikus.
"Dulu ada serangan hama tikus yang menimpa persawahan warga Desa Pelemsari. Setelah adanya tawur nasi, seketika serangan hama tikus hilang. Hingga saat ini, kami percaya tradisi ini untuk tolak bala menghindarkan desa dari segala macam musibah," ungkap Kepala Desa Pelemsari, Surinto, seperti dikutip dari Detik.com (16/8/2017).
Sebelum digunakan dalam prosesi tawuran, nasi sebelumnya diarak mengelilingi desa. Kemudian para sesepuh desa berkumpul untuk membacakan doa terhadap nasi tersebut.
Oya, ada hal khusus yang diperhatikan untuk pelaksanaan tawur nasi ini. Apa? Penentuan hari yang menurut Surinto perlu perhitungan khusus. Tahun lalu (2017), ritus dilaksanakan pada Rabu Pon, berdasarkan hitungan hari kelahiran Kepala Desa yang sedang menjabat, digabung dengan penghitungan weton kelahiran desa.
"Hari rabu adalah hari kelahiran saya selaku kepala desa, sedangkan pasaran pon itu merupakan weton kelahiran desa," katanya.
Menurutnya bila nanti kepala desanya berganti, pasti pelaksanaan tradisi ini juga akan berganti sesuai dengan hari kelahiran kepala desa. Dia mencontohkan kalau seorang kades lahir pada hari Senin, berarti pelaksanaannya hari Senin Pon.
Sebenarnya, sakitkah saat dilempar kepalan nasi? "Pas tawur ya pasti sakit kalau kena lemparan. Tapi setelah nasinya habis, prosesi selesai, tidak ada dendam atau apa. Justru kami senang," tutur Makruf, salah seorang peserta “perang”.
Sebagai tradisi turun-temurun, warga Pelemsari berusaha menyelenggarakannya setiap tahun. Mereka percaya, ritus itu sebagai ungkapan syukur dan harapan akan hasil panen yang selalu baik. Bila tak melakukannya, mereka khawatir bakal mengalami gagal panen seperti pada 1995. Pada tahun itu, warga pelemsari nggak mengadakan tawur nasi.
Bagaimana nasib nasi yang dilempar-lempar? Bukankah nasi yang berserakan itu mubazir.
Tidak, Millens. Seusai tawur nasi, nasi yang berserakan itu dikumpulkan. Sebagian untuk pakan ternak yang dipercaya bakal menghindarkan ternak dari penyakit. Sebagian lainnya bakal disebar di area persawahan yang dipercaya sebagai pengusir tikus.
Perlu kamu tahu juga, tradisi tawur nasi juga dijumpai di masyarakat Desa Jleper, kecamatan Mijen, Demak dan Desa Mlilir, Kecamatan Gubug, Kabupaten Gronogan.
Boleh jadi ada dari Sobat Millens kurang setuju ketika nasi dijadikan alat lempar-lemparan. Tapi kita perlu menghargai bahwa itu tradisi suatu masyarakat. Mengkritik tradisi orang bukanlah sikap bijak. Setuju? (IB02/E03)