Inibaru.id – Kalau kamu tinggal di tengah perkampungan, baik itu di kota ataupun di desa, pasti akrab dengan tradisi jimpitan. Biasanya, di depan rumah ada semacam wadah khusus yang biasa diisi sejumlah uang atau beras dan nantinya diambil oleh petugas dari RT atau desa. Uang atau beras ini kemudian bisa digunakan untuk sejumlah keperluan.
Nah, kamu pernah terpikir nggak seperti apa sih sebenarnya sejarah dari jimpitan ini? Kalau kita menilik dari namanya, jimpitan berasal dari kata Bahasa Jawa “jimpit” yang bisa diartikan sebagai cara mengambil benda dengan ujung jari. Biasanya, teknik pengambilan ini dilakukan karena wadah yang dipakai sempit seperti gelas.
Nah, jimpitan bisa diartikan sebagai tradisi warga memberikan bahan makanan seperti beras atau uang yang ditempatkan di wadah jimpitan yang sempit tersebut. Uang atau bahan makanan itu kemudian diambil petugas secara berkala.
Tradisi jimpitan ini dikenal di Jawa, khususnya di provinsi yang mayoritas warganya Berbahasa Jawa. Selain itu, di Jawa Barat, warganya juga mengenal tradisi serupa dengan sebutan yang berbeda, yaitu ‘beas perelek’.
Sejumlah sumber menyebutkn, tradisi jimpitan diperkirakan sudah eksis pada zaman penjajahan Belanda, khususnya di kawasan pedesaan. Saat itu, kondisi ekonomi sangat berat dan banyak masyarakat yang kesulitan untuk mendapatkan makanan.
Nggak ingin ada yang sampai kelaparan, masyarakat Nusantara yang dikenal gemar bergotong royong pun memutuskan untuk mencari cara membantu mereka yang kesusahan.
Caranya, di depan rumah, warga bisa memberikan sedikit bahan makanan yang mereka punya. Bisa berupa beras atau bahan makanan lainnya. Petugas desa pun tinggal melakukan jimpitan dan mengumpulkan bahan makanan tersebut dan kemudian diberikan kepada yang kesulitan.
Karena dianggap sukses, tradisi ini pun terus dijalankan meski Indonesia sudah merdeka dan kondisi ekonomi semakin membaik. Tujuan dari pengadaan jimpitan pun semakin bertambah.
Terkadang, jimpitan masih diperlukan untuk membantu tetangga yang membutuhkan. Tapi, seringkali jimpitan kini digunakan sebagai pengumpulan dana untuk membangun sejumlah fasilitas desa, menambah dana kas, hingga membayar petugas kebersihan atau keamanan.
Baca Juga:
Mengapa Disebut Sebagai Sepeda Jengki?Barang yang dimasukkan dalam wadah jimpitan di depan rumah juga berubah. Jika dulu biasanya adalah bahan makanan, kini juga bisa berupa uang. Soal jumlahnya, tergantung pada kebijakan pemerintah RT atau desa setempat. Sebagai contoh, ada yang mewajibkan jimpitan Rp500 setiap hari, ada pula yang membolehkan siapa saja memberikan uang secara sukarela tanpa batas nominal.
“Kami keliling mengambil uang dari rumah warga sembari ronda. Kami tinggal bawa pulpen (untuk menulis data jimpitan di dekat wadah), senter, dan plastik untuk mengumpulkan uang,” cerita seorang petugas jimpitan dari Kelurahan Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Sabtu (17/6/2023).
Wah, nilai-nilai positif khas Bangsa Indonesia di zaman dahulu masih bisa kita rasakan sampai sekarang dari adanya tradisi jimpitan ini ya, Millens? Apakah tradisi ini masih ada di tempat tinggalmu? (Arie Widodo/E10)