Inibaru.id – Siapa sangka, masyarakat Jawa pada zaman dahulu juga mengenal tradisi yang mirip dengan gladiator khas Romawi kuno. Nama tradisi tersebut adalah Rampogan Macan, Millens.
Keberadaan tradisi yang seru sekaligus mengerikan ini diungkap oleh sejarawan Blitar Ferry Riyandika. Dia menyebut tradisi ini dicatat dalam buku berjudul Bakda Mawi Rampog yang ditulis oleh R. Kartawibawa dan terbit pada 1928. Konon, tradisi ini kerap diadakan keluarga ningrat dari Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Khusus untuk Surakarta, tradisi ini sudah dimulai sejak pemerintahan Amangkurat II atau sekitar abad ke-17.
Sementara itu, Paku Buwono X disebut-sebut sengaja memelihara harimau dan sejumlah hewan liar lain di kandang yang ada di dekat alun-alun. Hewan-hewan tersebut sengaja dipelihara untuk acara Rampogan Macan yang diadakan untuk menyambut tamu agung seperti gubernur jenderal Hindia Belanda.
Menariknya, di Blitar, tradisi Rampogan Macan justru dilakukan untuk menolak bala. Maklum, saat itu Gunung Kelud mengalami erupsi dan membuat harimau jadi turun gunung. Dampaknya, banyak ternak warga yang jadi mangsa harimau-harimau tersebut. Kondisi ini diperparah dengan didirikannya pabrik gula di kawasan Panggungrejo, Blitar, pada 1860. Habitat asli harimau pun semakin menciut.
“Hutan jati di kawasan Gunung Betet Lodoyo berubah jadi lahan tebu. Semakin banyak harimau yang memangsa ternak warga,” ungkap Ferry sebagaimana dilansir dari Detik, Minggu (14/3/2021).
Pemerintah Kesultanan Mataram yang saat itu menguasai Blitar pun mengadakan sayembara yang diperuntukkan bagi warga yang mampu menangkap harimau. Imbalannya sekitar 10-50 Gulden. Harimau yang tertangkap kemudian akan dijadikan bagian acara Rampogan Macan.
Betewe, tradisi ini dibagi menjadi dua babak, Millens. Pada babak pertama, yang diadu adalah harimau dan banteng atau lembu. Nah pada babak kedua, yang diadu adalah harimau dan sekelompok prajurit keraton. Mereka menghadapi kucing besar tersebut dengan tombak. Yang berhasil mengalahkan harimau ini bisa mendapatkan imbalan berupa hadiah atau kenaikan pangkat.
Demi mengamankan warga yang pengin menonton, ratusan prajurit juga disipakan di sisi alun-alun membentuk barikade dengan membawa senjata tombak panjang. Setelah warga dipastikan aman, harimau yang telah ditangkap kemudian dikeluarkan dari kandang.
Jika harimau itu kebingungan dan diam saja, biasanya akan dipancing dengan mercon atau senjata agar mengamuk. Saat itulah, warga yang menonton biasanya mulai bersorak. Karena kalah jumlah, harimau kemudian kalah setelah diterjang puluhan tombak.
Mengingat tradisi ini berlangsung cukup lama, yaitu dari abad ke-17 sampai abad ke-20, ribuan harimau pun tewas sia-sia. Sisa harimau yang masih selamat kemudian memilih untuk bersembunyi di hutan dan selalu menghindari manusia agar nggak ditangkap.
Pemerintah Hindia Belanda yang menganggap tradisi ini nggak etis karena seekor harimau bisa dibantai oleh puluhan manusia, akhirnya memutuskan untuk melarangnya sejak 1905.
Hm, jadi penasaran ya, jika nggak ada tradisi Rampogan Macan ini, apakah jumlah harimau di Jawa bakal tetap banyak pada zaman sekarang. Kalau menurutmu, gimana, Millens? (Arie Widodo/E05)