Inibaru.id – Generasi milenial yang sudah nggak bisa lagi dibilang sebagai anak muda pasti ngeh banget dengan istilah sepeda jengki. Yap, sepeda ini memang sangat berbeda dengan sepeda-sepeda zaman sekarang yang terkesan lebih sporty.
Tapi, pernah nggak kamu terpikir mengapa sepeda itu diberi nama jengki? Padahal, itu bukan sebuah jenama. Kalau kamu mencari referensi tentang jengki di internet, yang bakal kamu temui biasanya adalah gaya jengki atau yankee style, gaya arsitektur modernis yang berkembang di Indonesia pada 1950-an sampai 1960-an.
Kalau di kotamu masih ada banyak rumah yang dibangun pada dekade tersebut, pasti bakal ngeh deh dengan style jengki tersebut.
Mengapa disebut jengki? Sebagaimana disebutkan sebelumnya, jengki berasal dari kata Yankee, istilah yang merujuk pada orang-orang dari Amerika Serikat. Saat Indonesia baru merdeka, masyarakat pengin mengganti sejumlah hal yang masih berbau kolonialisme Belanda.
Salah satunya adalah mengadopsi gaya arsitektur rumah-rumah dari Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II.
Gaya jengki kali pertama masuk ke Indonesia saat Kebayoran Baru dibangun pada 1955. Salah satu perumahan di sana, yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dibangun dengan arsitektur khas rumah-rumah Amerika Serikat. Ciri khasnya adalah sudut-sudut bangunan yang cenderung berani dengan mengambil bentuk persegi atau persegi panjang.
Nah, satu bangunan dengan gaya jengki yang masih bisa kamu lihat sekarang dalah Wisma Jenderal Ahmad Yani di Gresik, Jawa Timur, Millens.
Lantas, kok bisa sampai merembet jadi sebutan untuk sepeda? Kalau soal ini, kita mundur ke dekade 1940-an. Saat itu, sepeda onthel sudah sering dipakai masyarakat, khususnya di kawasan perkotaan. Sepeda onthel ini seringkali dikenal dengan istilah pit kebo atau sepeda kerbau karena ada yang memakai jenama 'Banteng'.
“Umumnya dipakai masyarakat perkotaan, khususnya kaum bangsawan dan pengusaha pada zaman Hindia Belanda,” ucap Ketua Paguyuban Onthel Djogjakarta Muntowil sebagaimana dikutip dari Idntimes, Selasa (4/8/2020).
Pada 1970-an, sepeda-sepeda dari Tiongkok mulai membanjiri pasar Tanah Air. Sepeda ini dianggap cocok dipakai oleh laki-laki ataupun perempuan karena bagian top tube alias batang rangka bagian atasnya melengkung atau turun ke bawah sehingga memudahkan kaum hawa menaikinya meski memakai rok panjang. Bentuk rangka ini sangat berbeda dengan pit kebo yang memakai top tube lurus horizontal dari bawah setang sampai ke sadel.
Harga dari sepeda jengki ini juga cenderung lebih terjangkau sehingga cepat populer. Nggak hanya kalangan menengah ke atas yang bisa membelinya, melainkan juga kalangan masyarakat bawah.
Karena dianggap mampu menghilangkan ‘aroma’ kolonialisme dan mengurangi jumlah sepeda yang sudah eksis sejak zaman Hindia Belanda di jalanan, sepeda asal Tiongkok tersebut pun akhirnya dikenal sebagai sepeda jengki.
Sayangnya, popularitas sepeda jengki semakin menurun setelah pergantian millennium. Kini, sangat jarang bisa menemukan sepeda jengki dipakai di jalanan.
Apakah di rumahmu masih ada sepeda jengki, Millens? (Arie Widodo/E05)