Inibaru.id – Begitu banyak tradisi di Jawa yang didasarkan pada penanggalan Jawa, semisal Apitan atau Malam Satu Sura yang banyak diperingati di sejumlah wilayah di Jawa seperti Solo, Semarang, dan Yogyakarta. Penanggalan itu biasa disebut Kalender Sultan Agungan. Namun, pernahkah kamu berpikir gimana sistem penanggalan itu?
Seperti kalender Gregorian, kalender Jawa memiliki 12 bulan, yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Bedanya, setahun kalender Jawa sama dengan 354 hari.
Bulan Sura menjadi bulan yang dikeramatkan bagi masyarakat Jawa Tengah. Pada bulan ini, orang sering dilarang melakukan kegiatan bepergian hingga melakukan pernikahan demi menghindari nasib buruk.
Selain memiliki 12 bulan, kalender Jawa memiliki beberapa siklus hari yaitu saptawara dan pancawara. Saptawara terdiri atas Ngahad (Dite), Senen (Soma), Selasa (Anggara), Rebo (Buda), Kemis (Respati), Jemuwah (Sukra), dan Setu (Tumpak).
Sementara itu, pancawara meliputi Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar), Pon (Palguna), dan Wage (Cemengan). Selain saptawara dan pancawara, ada pula siklus enam hari yaitu sadwara. Namun, siklus ini sudah nggak dipakai lagi ya, Millens.
Dari siklus hari tersebut, orang Jawa percaya bahwa masing-masing hari memiliki watak yang menentukan karakter seorang anak.
Hari lahir anak disebut weton yang sepintas mirip dengan astrologi. Nggak jarang, orang Jawa yang hendak menikah bakal dihitung wetonnya supaya tahu apakah rencana pernikahan mereka bisa dilanjutkan atau enggak. Ilmu perhitungan weton ini disebut Pawukon. Hm, cukup rumit ya rupanya.
Tertarik mempelajari sistem penanggalan Jawa? Kamu mungkin bisa bertanya pada orang terdekatmu. Mungkin kamu bakal sedikit bingung, tapi dengan usaha, kamu bakal bisa mempelajarinya. Gimana, sudah siap belajar kan? (IB15/E03)