Inibaru.id – Menginjakkan kaki di Jogjakarta agak kurang rasanya tanpa melipir untuk nongkrong di sebuah angkringan. Dengan gerobak yang stay di tempat dengan ciri khas terpal warna biru, angkringan selalu ramai di sudut-sudut kota Jogja.
Pemandangan beberapa orang yang sedang duduk santai dengan rokok terselip di antara jari dan kaki nangkring di atas bangku adalah hal yang lumrah.
Mereka menikmati obrolan demi obrolan, yang terkadang tanpa disadari, sudah berlangsung berjam-jam.
Nggak jarang obrolan ini bukan hanya antar pembeli, namun bersama dengan sang pemilik angkringan atau hik. Lalu, kira-kira apa sih bedanya hik dan angkringan?
Asal-usul Penamaan Hik
Sebelum menjelaskan apa perbedaan hik dan angkringan, simak dulu penamaan hik yang cukup menarik berikut ini.
Dilansir dari Ensiklo (28/8/14), pada 1950 silam ada lelaki bernama Pairo yang merantau dari Cawas, Klaten ke Kota Pelajar. Pairo terpaksa keluar dari desanya untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
Awalnya, Pairo berjualan makanan kecil dan minuman dengan cara dipikul berjalan berkeliling kampung. Lelaki ini membawa pikulan sambil mengucap “Hiiik…iyeeek”. Untuk memberitahukan kedatangannya, Pairo juga memukul piring, mangkuk, dan gelas menggunakan sedok.
Dari situlah asal penamaan hik, yang sebagian orang mengartikannya dengan “Hidangan Istimewa Kampung”. Ternyata bisnis Pairo sukses. Kesuksesan ini bahkan menular hingga kini kepada keturunannya yang menjadi pemilik Angkringan Lik Man. Buat kamu yang belum tahu, angkringan ini sangat terkenal di Yogyakarta.
Versi lain ditulis Kompas (2/9/2020) yaitu perintis konsep angkringan adalah Eyang Karso Dikromo yang berasal dari Desa Ngerangan, Klaten. Dia merantau ke Solo pada 1930 dan membuka bisnis menjual nasi terik bungkus pada 1943 dengan pikulan. Dia kemudian menambah variasi menu dengan menyediakan nasi kucing (sebutan untuk nasi dengan porsi yang sangat kecil).
Nggak dinyana dagangannya laris hingga banyak bermunculan hik di Solo. Kepopuleran ini bahkan sampai ke Yogyakarta. Kemudian muncullah angkringan pertama di Kota Pelajar.
Jadi, sudah jelas ya mana yang lahir lebih dulu?
Apa Bedanya dengan Angkringan?
Sebetulnya nggak ada perbedaan antara hik dan angkringan. Baik angkringan Yogyakarta mau pun hik Solo, keduanya memiliki konsep yang serupa. Keduanya menawarkan jajanan dan minuman dengan cara dipikul berkeliling.
Hingga dalam perkembangannya, mereka mangkal di pinggir jalan menyerupai warung kaki lima dengan gerobak kayu yang ditutupi terpal. Mungkin salah satu keunikan yang ada pada keduanya adalah hidangan yang ditawarkan selalu variatif. Kalau pun ada perbedaan, hal itu karena mengikuti makanan khas di sana.
Yang menjadi semacam signature dish baik di hik atau angkringan adalah nasi kucing, satai telur, satai usus, ceker, kepala ayam, dan bermacam gorengan. Untuk minumannya, umumnya penjual melayani pelbagai permintaan. Kamu sebagai pembeli tinggal pesan saja. Wedang jahe, wedang uwuh, kopi, air jeruk, susu jahe, teh, hingga minuman instan tersedia. Komplet kan?
Keseruan nongkrong dan makan di hik atau angkringan adalah lenyapnya sekat. Kamu bisa nyeletuk omongan pembeli lain dan bahkan akhirnya menjadi teman ngobrolnya tanpa harus canggung. Semua golongan sosial pembeli nggak perlu dicemaskan. Yap, nggak ada kata kasta dalam kamus angkringan!
Mau ngomongin hal receh atau ndakik-ndakik ya sah-sah saja di angkringan. Sungguh hal yang agak mustahil terjadi di kafe kekinian ya? Kalau kamu punya kesan apa nih di angkringan atau hik, Millens? (Kharisma Ghana Tawakal/E05)