Inibaru.id - Siapa yang nggak kenal angkringan? Tempat makan yang punya ciri khas menggunakan gerobak dan penutup terpal ini menyajikan berbagai makanan yang ramah bagi kantong. Selain nasi bungkus alias nasi kucing, kamu juga bisa menemukan gorengan, satai, dan lauk lainnya. Di sini, kamu juga bisa menemukan minuman nikmat seperti wedang jahe.
Angkringan mudah ditemukan di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Hanya, tempat makan ini kadung identik dengan Kota Yogyakarta. Menariknya, sejarah angkringan ternyata nggak berasal dari Kota Pelajar, lo. Lantas, dari mana sih asal-usul angkringan?
Angkringan ternyata diprakarsai oleh warga Klaten yang bernama Eyang Karso Dikromo. Beliau berasal dari Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat. Hal itu dijelaskan oleh Gunadi dan Suwarna, founder Desa Cika Bakal Angkringan.
Eyang Karso yang biasa disapa Jukut itu pada tahun 1930 merantau ke Solo saat usianya masih 15 tahun. Alasannya, karena sebagai sulung dari empat bersaudara, Mbah Karso merasa bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya setelah sang ayah meninggal.
“Di Solo ketemu Mbah Wono, dari situlah awal mula angkringan,” ungkap Suwarna Minggu (30/8/2020).
Saat bekerja dengan Mbah Wono sebagai penggembala, Mbah Karso berkenalan dengan penjual makanan terikan (makanan dari Jawa Tengah dengan kuah kental dengan lauk tempe atau daging). Dari situ, Mbah Karso ditawari untuk berjualan terikan dan langsung menyetujuinya.
Mbah Karso mulai berjualan terikan dengan menggunakan pikulan pada 1943. Selang beberapa waktu, dia memodifikasi dagangannya dengan menambahkan minuman atau wedang yang dituangkan dari ceret.
Saat masih berjualan dengan memakai pikulan, makanan yang dijajakan Mbah Warso berbeda dengan angkringan modern. Dulu, dia menjajakan jadah bakar, singkong, gethuk, kacang, dan aneka satai. Lauk-lauk ini dimasukkan dalam wadah daun pisang yang disebut dengan takir.
Nggak lama berselang, varian makanan yang dijual Mbah Karso bertambah dengan hadirnya nasi kucing. Menariknya, karena sangat populer dan digemari pelanggannya, nasi kucing itu malah menggeser pamor terikan.
Di Solo, angkringan dikenal dengan sebutan "Hik". Banyak orang lain yang kemudian terinspirasi untuk membuka usaha sebagaimana Mbah Karso. Istilah Hik pun semakin terkenal.
"Ada yang menduga dari cara penjualnya menjajakannya dengan sahutan 'hiyeek!'. Ada yang bilang pembelinya sendawa seperti itu. Versi lainnya saat penjual tersandung mengatakan 'hiyek!'. Jadi tidak pasti asal kata 'hik' itu," ungkap Suwarna.
Kepopuleran warung Hik di Solo pada 1940-an akhirnya merambah ke Yogyakarta pada 1950-an. Di tempat baru inilah, sebutan angkringan lahir.
Di Kota Pelajar yang memiliki banyak pendatang, angkringan semakin populer karena menjajakan makanan yang bisa dibeli siapa saja tanpa mengenal status ekonomi. Hanya, pada 1970-an, mulai terjadi perubahan dari cara penjualan. Pedagang angkringan beralih dari pikulan menjadi gerobak.
"Itu karena kalau kesandung, air panas bisa tumpah ke kaki. Salah seorang penjual membuat ide menggunakan gerobak agar kasus ini nggak lagi terjadi. Baru jadi gerobak seperti sekarang tahun 1980-an," tutur Gunadi..
Perkembangan angkringan sekarang tidak hanya di Indonesia. Gunadi dan Suwarna mengatakan bahwa ada mahasiswa yang belajar Yogyakarta yang kini membuka angkringan di Jepang, Amerika Serikat, hingga Swedia.
Sebagai pengingat dari mana asal muasal angkringan, mulai tanggal 26 Februari 2020, Desa Ngerangan di Kecamatan Bayat, Klaten, ditetapkan sebagai Desa Cikal Bakal Angkringan. Di sini, sejarah tentang asal tempat makan legendaris ini dikenang.
Wah ternyata sejarah angkringan panjang dan keren juga ya, Millens. (Kom/IB28/E07)