Inibaru.id – “Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.” Begitu kira-kira sepenggal sajak penyair ternama Joko Pinurbo. Kutipan ini sering digunakan banyak orang sebagai ungkapan kerinduannya terhadap Kota Yogyakarta. Di kota ini, kamu memang bisa dengan mudah menemui angkringan, Millens.
Angkringan adalah tempat di mana banyak makanan dan minuman dengan harga terjangkau bisa kamu beli. Kamu juga bisa bercengkerama dengan siapa saja di sana, termasuk dengan orang yang awalnya nggak kamu kenal, lo.
Hikayat Sebuah Angkringan
Banyak versi yang menjelaskan hikayat tempat sederhana ini. Yang pertama, pada tahun 1930-an, Karso, pria asal Klaten, mengadu nasib ke Solo dan bertemu dengan Wiryo. Mereka berdua lantas setuju membuat terikan, aneka lauk yang dimasak dengan kuah kental.
Gerobak makanan yang mereka jajakan sengaja dijual di malam hari. Lambat laun, mereka menambah menu makanan dan aneka wedangan hangat seperti wedang jahe, kopi, dan teh. Berhubung semakin banyak yang mampir, ditambahlah beberapa jajanan pasar dan camilan kampung.
Awalnya, mereka berjualan dengan gerobak pikul yang dibawa berkeliling. Namun, seiring berjalannya waktu, ada yang mulai meniru jualan mereka. Nah, tatkala Karso dan Wiryo mengalami kecelakaan yang membuat gerobak makanannya tumpah, mereka memutuskan untuk mengganti cara mereka berjualan, yaitu dengan mangkal di satu tempat saja.
Kedua, ada versi yang mengatakan bahwa angkringan Karso yang ada di Solo menginspirasi banyak orang. Salah satunya adalah Pairo. Alih-alih ikut berjualan di Solo, dia ingin mencoba hal yang sama di Yogyakarta. Pada 1950, Pairo mulai menjajakan makanannya dengan cara dipikul mengelilingi Yogyakarta.
Sempat beberapa kali pindah tempat, Stasiun Tugu Yogyakarta akhirnya dipilih sebagai tempat untuknya mangkal. Di sana, angkringan Pairo semakin berkembang dan populer. Sejak saat itulah, banyak orang mengikuti jejaknya membuka angkringan di Kota Pelajar.
Filosofi Angkringan dan Bahasan Para Pembelinya
Seiring dengan berkembangnya zaman, semakin banyak penjual angkringan yang menelurkan inovasi menarik. Salah satunya adalah kemunculan nasi kucing, nasi plus lauk dengan ukuran porsi sedikit layaknya makanan kucing. Selain itu, ragam satai dan gorengan di angkringan semakin banyak. Bahkan, kini mulai banyak angkringan yang menyediakan live music hingga fasilitas Wi-Fi.
Angkringan di Kota Solo biasa disebut sebagai hik, singkatan dari hidangan istimewa kampung ini dinilai sebagai tempat yang egaliter. Nggak hanya kaum elit yang bisa jajan disini, kaum kelas teri dan mahasiswa rantau pun bisa menikmati angkringan setiap saat. Di sana, obrolan para pelanggannya juga bervariasi, dari yang enteng seperti isu di lingkungan sekitar hingga obrolan ekonomi politik yang cukup berat bisa kamu dengarkan.
Bisa dikatakan, di angkringan, kamu nggak akan menemukan kelas sosial. Semua setara asalkan mau membayar apa yang mereka makan dan minum saat mau pulang. Setuju, kan, Millens?(Kom,Ora,Idn/IB31/E07)