Inibaru.id - Jauh sebelum ada kertas sebagai media untuk menulis, masyarakat Nusantara sudah mengenal dluwang atau deluang. Ia bukan kertas melainkan lembaran tipis yang terbuat dari kulit pohon, tapi memiliki fungsi yang sama seperti kertas, yaitu sebagai media tulis.
Dilansir dari Siedoo (4/9/2018), dluwang menjadi bagian dari tradisi tulis di Indonesia sejak abad ke 14. Sebelum Islam datang ke Indonesia, dluwang digunakan sebagai bahan wayang beber, salah satu jenis wayang di Jawa yang memanfaatkan lembaran atau gulungan dluwang untuk merekam kisah pewayangan dalam bentuk gambar.
Lalu, saat Islam masuk, dluwang digunakan para santri untuk menulis ayat-ayat Alquran hingga pemanfaatan untuk keperluan administrasi di zaman kolonial hingga awal kemerdekaan RI.
Nah, berawal dari rasa kagumnya terhadap fungsi dan keawetan dluwang, Indra Suroinggeno mulai memproduksi kertas dluwang sekitar dua tahun lalu. Lelaki asal Kabupaten Bantul, DIY itu menganggap pembuatan kertas dluwang yang dia lakukan seperti merefleksikan kembali sejarah nusantara.
"Awalnya hanya dari kekaguman saja, bahwa kertas dluwang itu seumuran dengan lontar. Setelah relief candi dulu kita menulis itu kalau tidak lontar ya dluwang," kata Indra saat ditemui di rumahnya, Pedukuhan Kanutan, Kalurahan Sumbermulyo, Kapanewon Bambanglipuro, Bantul, dilansir dari Detik (4/3/2022).
Ada Peminat
Mengingat sekarang orang menulis dan menggambar sudah menggunakan kertas bahkan gawai, apakah dluwang masih ada peminatnya? Menjawab pertanyaan itu Indra optimistis bahwa produknya tetap ada peminatnya. Dia ingin melestarikannya dengan menyediakan kertas dluwang bagi kalangan yang benar-benar membutuhkan.
"Kehidupan itu menurut saya tetap ada yang namanya hukum alam. Misal batik sekarang perkembangannya ada batik cap dan printing. Tapi di sisi lain pasti ada yang suka atau kangen dengan batik tulis. Nah untuk aksara Jawa ini, untuk kertas dluwang ini biasanya ada seniman yang ingin selembar dua lembar dan Dinas Kebudayaan juga kadang memesan," imbuhnya.
Meski meproduksi dalam ukuran kuarto, Indra mengaku menjualnya per sentimeter sesuai kebutuhan pembelinya.
"Kalau saya cuma memberitahu hitungannya per sentimeter. Jadi tidak saklek harganya harus segitu (menyesuaikan per sentimeter)," katanya.
Cara Membuat Dluwang
Jika kamu penasaran bagaimana proses pembuatan kertas dluwang, simak baik-baik penjelasan Indra, ya! Pembuatan kertas dluwang menggunakan bahan baku pohon glugu (paper mulberry). Setelah bahan baku siap, hal pertama yang dia lakukan adalah mengembangkan bibit kertas lalu memotong.
"Yang diambil kulit ketiganya dengan cara diklocopi. Terus direndam dulu minimal 1-2 hari jangan sampai 3 hari," paparnya.
Setelah direndam baru ditempa sekitar seribu kali. Kalau sudah ditempa, maka Indra akan membungkus menggunakan daun pisang selama tiga hari agar lendir-lendir alami pembentuk kertas muncul.
Selanjutnya lembaran itu diangin-anginkan, dan setelah kering, tahap terakhirnya digosok menggunakan keong atau menggunakan batu halus. Dengan teknik itu, kertas dluwang akan terbentuk dengan kualitas bagus.
"Nah, kalau sehari dapat 4 (lembar) sudah bagus sekali, tapi kan saya ulik-ulik sendiri dan pakai formula khusus juga ternyata bisa (lebih dari 4 lembar per hari)," katanya.
"Karena selembar kertas ukuran A4 kuarto itu bisa sekitar 1.000 pukulan (tempaan) dengan alat tempa dari bahan kuningan. Memang berat tapi kalau laku dijalani terasa ringan nantinya," imbuh Indra.
Jika kamu membutuhkan kertas dluwang untuk kepentingan studi, kesenian, atau lainnya bisa menghubungi Indra di Bantul, ya! (Siti Khatijah/E07)