Inibaru.id – Indonesia menduduki peringkat perkawinan anak tertinggi kedua se-ASEAN, dengan salah satu faktor penyebabnya adalah remaja hamil tanpa suami yang dipaksa segera menikah. Yang parah, paksaan itu umumnya datang dari keluarga atau orang-orang di lingkar terdekat.
Alih-alih mempertimbangkan kebutuhan anak, desakan justru lebih banyak dilakukan untuk menutupi aib. Padahal, sebagian besar kelahiran tak dikehendaki (KTD) dialami oleh perempuan yang nggak siap, yang justru berpotensi membahayakan fisik maupun mental mereka.
Dalam banyak kasus, mereka memilih lari dari rumah, entah karena diusir atau enggan menikah. Cara lain, mereka memilih menggugurkan kandungan atau melakukan percobaan bunuh diri. Yakinlah, nggak sulit menemukan kasus-kasus seperti ini di sekitar kita.
Nah, melihat banyaknya fenomena itu, Rumah Singgah Griya Welas Asih pun didirikan melalui inisiasi Rosalia Amaya dan Ruth Yuanita. Berdiri di Kota Semarang sejak 2018, hingga kini rumah singgah itu telah menampung 35 perempuan, dari yang hamil karena "kecelakaan" hingga korban pemerkosaan.
Jalan Berliku yang Terjal
Menangani orang yang mengalami kehamilan nggak dikehendaki tentu saja bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih, para perempuan tersebut, yang di Griya Welas Asih disebut "klien", umumnya mengami kelelahan fisik dan mental saat tiba di rumah singgah tersebut.
Namun, Rosa dan Ruth, sapaan akrab kedua pendiri Griya Welas Asih, mengaku nggak gentar. Seterjal apa pun jalannya, mereka berusaha menjalaninya dengan sepenuh hati. Rosa mengaku bersyukur bisa menyediakan ruang aman bagi kaumnya, termasuk "menyelamatkan" nyawa 28 bayi.
"Mulai dari cari donatur, tempat singgah klien, hingga mediasi ke keluarga klien, kami lakukan sebaik mungkin," ungkap Rosa di Griya Welas Asih yang beralamat di Jalan Seteran Tengah No 52, Miroto, Semarang Tengah, Kota Semarang, belum lama ini.
Menurut Rosa, hal paling sulit dalam menjalani peran sebagai pengelola Griya Welas Asih adalah proses mediasi dengan keluarga klien. Untuk bisa menampung klien di rumah singgah, Rosa dan Ruth memang harus mendapatkan izin dari keluarga mereka. Nah, inilah yang berat.
Dia mengaku paham bahwa keluarga atau kerabat akan berat menerima kabar bahwa anaknya hamil di luar nikah. Mereka pasti kecewa. Maka, menjadi tugas Rosa dan Ruth untuk jadi penengah kedua pihak, sekaligus menawarkan solusi terbaik untuk mereka.
"Namun, Sang Pencipta akan selalu memberikan jalan bebas hambatan bagi hambanya yang ingin berbuat baik," akunya optimistis, lalu tersenyum.
Keyakinan Rosa ini rupanya berbuah manis. Hingga kini dia mengaku nggak pernah merasa kekurangan untuk mengelola Griya Welas Asih. Meski mereka nggak punya donatur tetap, banyak temannya yang membantu. Tiap beberapa bulan juga selalu ada orang baik yang tiba-tiba berdonasi.
"Kadang kebutuhan bayi, kadang juga bahan makanan untuk ibunya,” ujar perempuan berkacamata itu dengan mimik muka penuh haru.
Lebih Leluasa Bergerak
Rosa bercerita, pernah ada masa ketika dirinya beberapa kali dicurigai memperjualbelikan bayi saat mengurus ke puskesmas atau rumah sakit lantaran Griya Welas Asih belum berbadan hukum. Namun, dia kini bisa bernapas lega setelah tempat itu mengantongi legalitas.
Saat ini, Griya Welas Asih telah menjadi bagian dari Yayasan Bakti Agape yang bernaung di bawah layanan Gereja Kristen Alfa Omega. Hal ini membuat Rosa merasa lebih leluasa bergerak. Meski bernaung di bawah yayasan Kristen, Rosa menegaskan bahwa tempatnya terbuka untuk semuanya.
"Slogan kami 'mengasihi tanpa membedakan', jadi kami menerima klien dengan keyakinan dan latar belakang apa pun," paparnya, meyakinkan. "Ini juga berarti mereka harus saling membantu untuk keperluan mengurus rumah singgah."
Yap, selama berada di rumah singgah, para calon ibu dengan rentang umur 14-26 tahun itu akan menjalani rutinitas laiknya kebanyakan anak kos yang harus saling bantu menjaga kebersihan, memasak, dan mencuci baju. Selain itu, Rosa mengatakan, para klien juga dibekali sejumlah soft skill.
"Secara rutin tiap klien diberi keterampilan tambahan untuk menjalani hari sebagai orang tua seperti menjahit, crafting, mengatur menu makanan, baking, dan lain-lain. Mereka juga diberi buku bacaan dan tugas berupa resume yang wajib dikumpulkan," paparnya.
Dia sengaja menerapkan aturan-aturan tersebut karena kliennya kebanyakan masih usia pelajar yang sebagian di antaranya jarang membantu orang tua melakukan pekerjaan rumah. Dia pengin sebaik mungkin mempersiapkan para klien itu sebagai orang tua.
"Kami ajari keterampilan untuk hidup mandiri serta soft skill untuk bekalnya," tegas perempuan yang biasa dipanggil Mama Rosa oleh para kliennya itu. “Jadi single parent itu nggak mudah!”
Keahlian tambahan yang diberikan Rosa tersebut kini mulai berbuah manis. Kalau sempat kepoin akun Instagram dan Facebook Griya Welas Asih, kamu akan melihat hasil karya tangan-tangan yang sebelumnya putus harapan itu di sana.
Oya, perlu diketahui, Rosa dan Ruth mendirikan Griya Welas Asih bukan untuk membenarkan kehamilan di luar nikah. Namun, keduanya berpihak pada mereka semata karena melihat bahwa perempuan yang hamil di luar nikah juga merupakan korban yang perlu mendapat uluran tangan.
Rosa menegaskan, pengelola Griya Welas Asih nggak akan pernah mengambil bayi para klien. Setelah si ibu melahirkan, dia justru selalu mewanti-wanti agar bayi tersebut dia rawat sendiri alih-alih dijual atau diberikan ke orang lain.
"Seberat apa pun perjuangan mereka, kami berharap buah hati yang mereka lahirkan akan mereka rawat sendiri karena ibu akan selalu menyayangi anaknya," tandas Rosa.
Menyenangkan sekali kalau di dunia ini banyak orang seperti Rosa dan Ruth. Turut lega juga karena jalan terjal yang harus mereka lalui tampaknya sudah mulai "diaspal" sehingga Griya Welas Asih lebih mudah ditarik. Sehat-sehat ya, orang-orang baik di Griya Welas Asih! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)