Inibaru.id – Saat para perempuan saling dukung, apa pun bisa dilakukan. Kalimat yang berdengung keras pada perayaan Hari Perempuan Intenasional 2018 itu sudah tepat. Sebagai kelompok rentan di masyarakat yang patriarkis, tangan para perempuan yang terus berkelindan sangatlah diperlukan.
Tangan-tangan itu di antaranya dimiliki Rosalia Amaya dan Ruth Yuanita. Mereka adalah pendiri Rumah Singgah Griya Welas Asih, sebuah ruang aman bagi para perempuan yang hamil tanpa rencana atau di luar pernikahan, mulai dari alasan "kecelakaan" hingga korban pemerkosaan.
Rosa dan Ruth, sapaan akrab keduanya, mendirikan Griya Welas Asih pada 2018. Rosa mengatakan, rumah singgah itu adalah manifestasi dari pengalaman pilunya kehilangan anggota keluarga yang meninggal saat aborsi lantaran hamil di luar nikah.
“Pemantik lain adalah pengalaman Ruth, kawan saya, yang bertemu seorang remaja 15 tahun yang diasingkan oleh orang tuanya di sebuah desa terpelosok di Bandung karena hamil di luar nikah," cerita Rosa di Griya Welas Asih, Jalan Seteran Tengah No 52, Miroto, Semarang Tengah, Kota Semarang.
Berawal dari Kekecewaan
Rosa dan Ruth yang bertekad "menyelamatkan" remaja yang ditemukan Ruth tersebut pun kemudian berusaha mencarikan tempat bernaung untuk pemulihan mental dan fisiknya. Keduanya sempat menemukan tempat penampungan ibu hamil tanpa suami, tapi mereka merasa kurang sreg.
"Agak kecewa, karena di rumah singgah itu bayi yang lahir akan diasuh pihak yayasan melalui pantiasuhan mereka," kata Rosa. "Meski si anak nantinya akan diasuh dan diberi pendidikan yang cukup baik, kami merasa ada yang kurang."
Kekecewaan itu rupanya terus dipikirkan Rosa dan Ruth. Pada tahun yang sama, mereka mendirikan Rumah Singgah Griya Welas Asih, dengan tujuan memberi ruang aman bagi para perempuan hamil di luar nikah yang umumnya mendapat penolakan dari keluarga atau masyarakat ini.
"Kami memberi ruang untuk mereka (perempuan hamil di luar nikah), tanpa memisahkan si bayi dari ibunya," aku Rosa sembari memandang ke sekeliling ruangan.
Kendati keduanya mengaku nggak punya latar pendidikan yang "nyambung" seperti psikologi, kesehatan, atau konseling, mereka nggak gentar. Salah satunya karena Rosa dan Ruth memang sudah terbiasa dengan aksi sosial yang sudah mereka lakukan sejak masa sekolah.
“Kebetulan kami bekerja di gereja yang sama; Ruth mengurus birokrasi dan administrasi, sedangkan saya menjadi orang lapangan,” kata dia.
Menyelamatkan Puluhan Bayi
Sejak berdiri pada 2018, Rosa memaparkan, rumah singgahnya telah menerima 35 klien, sebutan mereka untuk para perempuan yang ditampung di Griya Welas Asih, serta menyelamatkan 28 bayi.
"Cuma ada 28 bayi, lebih sedikit dari jumlah kliennya, karena beberapa ibu hamil belum melahirkan dan ada klien yang akhirnya berdamai dengan keluarga dan diminta pulang," tutur Rosa.
Suatu kali, Rosa bercerita, dia dan Ruth pernah menyelamatkan seorang remaja usia sekolah yang kabur dari rumah lantaran hamil di luar "rencana". Sebelum dibawa ke Griya Welas Asih, selama empat bulan dia menumpang di rumah temannya yang berlokasi di satu desa perbatasan Semarang-Kendal.
"Saat dibawa ke tempat kami, anak tersebut sudah tergerus fisik dan mentalnya," kenang Rosa pada kejadian yang terjadi sekitar setahun silam. “Dia sudah susah diajak berkomunikasi; mengaku sebagai atlet, sekolah di SMA ternama, dan banyak lagi."
Nah, karena untuk bisa tinggal di Griya Welas Asih para klien harus mendapat perizinan dari orang tua atau wali, Rosa dan Ruth pun mencari tahu keberadaan orang tua kliennya itu. Sayangnya, kondisi klien yang buruk membuat mereka kesulitan mendapatkan informasi seperti alamat atau nomor telepon.
"Kami cuma tahu nama ibunya yang bekerja sebagai penjual sayur di Pasar Ngadirejo Temanggung. Ya sudah, kami ke Temanggung, lalu berjalan memutari pasar, bahkan di sana sempat dianggap sebagai debt collector," kelakar perempuan berkacamata tersebut.
Rasa Syukur dan Waswas
Pencarian orang tua klien di Temanggung itu akhirnya membuahkan hasil. Seorang perempuan yang mengaku sebagai bibinya menemui, lalu mengantarkan mereka ke rumah si anak, setelah sebelumnya ngobrol panjang lebar. Rute ke rumahnya berkelok-kelok di kaki gunung Gunung Sindoro.
“Puji Tuhan, saat itu dimudahkan, meski rintangannya hebat sekali; kami ke sana tanpa maps dan rumahnya sangat sulit dijangkau,” cerita Rosa. Wajahnya memancarkan kelegaan yang begitu sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Menurut Rosa, banyaknya kehamilan di luar nikah nggak lepas dari tren friends with benefit (FWB) yang banyak dipraktikkan di kalangan remaja. Dia mengaku menyayangkannya, karena pada akhirnya perempuanlah yang paling banyak dirugikan; mulai dari masalah kekerasan seksual hingga kehamilan.
Nggak dimungkiri, dia yang memiliki dua anak usia remaja juga merasa waswas. Karena itulah menurutnya peran orang tua, lingkungan, dan agama terkait pendidikan seks menjadi sangat penting.
“Saya selalu ajarkan kepada anak-anak dan klien, janganlah mengambil hak yang belum saatnya untuk kalian. Sama halnya dengan melakukan seks, jika waktunya datang, Tuhan akan berikan,” tutupnya.
Andaikan tiap kota ada satu saja perempuan seperti Rosa dan Ruth yang tangannya begitu ringan membantu kaumnya, nasib para perempuan di negeri ini mungkin akan lebih baik. Sepakat, Millens? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)