Inibaru.id – Nggak sekadar melestarikan seni tradisi, Ketua DPRD Jawa Tengah Sumanto kembali menghadirkan pagelaran wayang kulit sebagai ruang belajar nilai-nilai kehidupan. Pentas yang digelar di Desa Suruh, Kecamatan Tasikmadu, Karanganyar, itu menampilkan lakon "Kresna Duta" yang sarat pesan tentang pentingnya diplomasi dalam menyelesaikan konflik.
Dua dalang, Ki Daliyun Darjo Martono dan Ki Fajri Nur Salim, membawakan kisah perjalanan Prabu Kresna ketika diutus Pandawa untuk menuntut kembali hak mereka atas Kerajaan Ngastina. Upaya damai itu kandas ketika Duryudana menolak dan bahkan berupaya membunuh Kresna. Sang dewa kemudian menunjukkan kesaktiannya dengan menjelma menjadi raksasa raksasa besar, simbol amarah atas ketidakadilan Kurawa.
Sumanto mengungkapkan bahwa pentas wayang kulit rutin dia gelar setiap selapan dina atau 35 hari sekali, sebagai komitmen menjaga warisan budaya sekaligus memberi ruang bagi para dalang setempat untuk tampil.
"Kali ini ceritanya tentang Kresna yang menjadi utusan Pandawa untuk menyampaikan secara baik-baik kepada Kurawa untuk membagi tanah Kerajaan Ngastina. Namun karena Kurawa menolak, terjadilah Perang Bharatayuda yang membuat 100 ksatria Kurawa habis dan Pandawa menguasai tanah dari Bapaknya," ungkapnya.
Menurutnya, meski Lakon Kresna Duta tampak sederhana, nilai filosofi di dalamnya begitu dalam dan relevan. Kresna digambarkan nggak serta-merta memilih kekerasan, tetapi mengedepankan negosiasi meski hak Pandawa dirampas secara nggak adil.
"Pesan moralnya, negosiasi perlu dilakukan dulu sebelum terjadi hal yang merugikan. Meski Kresna datang untuk berdamai, ia tetap sadar bahwa perang mungkin terjadi. Kresna memberi batas jelas, jika diplomasi gagal, pembelaan diri harus dilakukan untuk menegakkan kebenaran," kata Sumanto.
Dia pun mengajak masyarakat memandang wayang kulit bukan hanya sebagai tontonan, melainkan juga tuntunan. Nilai-nilai seperti keberanian, keadilan, kesetiaan, dan kebijaksanaan, menurutnya, dapat menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Politisi PDIP itu menambahkan bahwa kisah-kisah pewayangan yang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana selalu membawa pesan universal tentang perjuangan antara kebaikan dan kejahatan.
"Menampilkan pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan, serta mengajarkan pentingnya menjaga moralitas dan perilaku yang luhur. Semoga pementasan ini memberikan pelajaran bagi kehidupan," ungkapnya.
Dukungan terhadap kegiatan ini juga datang dari masyarakat setempat. Sekretaris Desa Suruh, Aan Andrianto, menyebut pementasan rutin tersebut menjadi bukti nyata upaya pelestarian budaya di tengah era digital.
"Kebetulan di sini kalau ada jadwal wayang warga ikut getok tular dan menonton. Pada zaman digital ini wayang kulit tak boleh dilupakan. Terima kasih pada Pak Manto yang telah memberikan tontonan dan hiburan ke warga Suruh," ujarnya. (Ike P/E01)
