Inibaru.id - Ratusan ribu buruh merayakan May Day hari ini, Kamis (1/5/2025). Sedari pagi, mereka telah berarak menuju halaman gedung pemerintahan dan parlemen di berbagai sudut di Indonesia. Suara mereka nyaring, berisik, dan melengking mengusik para penguasa dan tentu saja pengusaha.
Di antara mereka, ada Muhammad yang sejak pagi telah bersiap ke Monas. Dihubungi sekitar pukul 09.00 WIB, pekerja di sebuah pabrik garmen di Jawa Barat itu mengaku akan ikut turun ke jalan untuk memperingati Hari Buruh bersama kawan-kawannya.
"Setiap tahun, Hari Buruh memang selalu diperingati dengan cara yang sama. Kita diliburkan, lalu turun ke jalan. Tapi, ya beginilah, tiap kali demonstrasi tuntutan para buruh berganti, tapi jawaban para penguasa dan pengusaha ini sepertinya mirip-mirip saja," tuturnya via pesan pribadi di Instagram, Kamis (1/5/2025).
Apa yang dikatakan Muhammad nggak salah. Di Indonesia, kita punya daftar panjang suara sumbang dari tuntutan para buruh yang tampak diperhatikan, tapi menjadi semata aksi seremonial yang pada waktunya akan terlupakan dan tenggelam di lini masa, sementara para buruh tetap terluka dan diabaikan.
"Dengan upah jauh dari kata layak, eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan yang mengintai, jaminan kerja nggak memadai, serta perlindungan kesehatan yang begitu minim, sebagian dari kami tetap bertahan demi bisa makan," keluhnya.
Lebih dari Seremonial
Lebih dari sekadar peringatan seremonial dengan spanduk dan demo besar-besaran, Muhammad menilai Hari Buruh adalah upaya untuk mengingatkan kita kembali akan ribuan kisah pilu pekerja yang terpinggirkan di negeri ini.
"Kenapa sepenting itu? Tentu saja karena suatu hari nanti anak kita juga akan menjadi para pekerja. Sebagai orang tua, yang saya lakukan adalah membuat jalan mereka lebih baik, mulus, dan nggak mengalami nasib pahit yang kami alami," jawabnya sebelum mengakhiri obrolan karena akan kembali menyerukan aksi.
Ya, May Day atau Hari Buruh yang diperingati setiap 1 Mei bukan cuma "perayaan" untuk pekerja, tapi juga anak muda seperti kita yang suatu hari akan menjadi bagian dari para pekerja yang melumasi roda ekonomi di negeri ini.
Kita tidak bisa menutup mata alias abai atas berbagai kisah pilu yang para buruh alami. Kamu mungkin ingat kisah Marsinah, seorang buruh pabrik di Sidoarjo yang menghilang selama tiga hari kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993. Bagaimana kelanjutan kasusnya?
Catatan Kelam di Dunia Kerja

Marsinah hanyalah satu dari deretan catatan kelam di dunia kerja di Tanah Air. Berikut adalah rangkuman catatan dalam beberapa tahun terakhir yang patut jadi refleksi bersama:
1. PHK Massal: Ketika ribuan pekerja kehilangan pegangan hidup
Tahun 2024 ditandai dengan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menyapu berbagai sektor. Tercatat lebih dari 77.000 pekerja di-PHK; terbanyak di Jakarta, Jawa Tengah, dan Banten. Penyebabnya beragam: mulai dari digitalisasi, efisiensi, sampai penurunan permintaan global.
Contoh kasus:
- PT Sritex, salah satu raksasa tekstil Indonesia menyatakan pailit dan mem-PHK lebih dari 10.000 karyawan.
- PT Sepatu Bata dan PT Hung-A Indonesia juga melakukan PHK besar-besaran, menyisakan kekhawatiran soal nasib industri padat karya.
2. Pelecehan seksual masih menjadi "hantu" di tempat kerja
Masih banyak pekerja, khususnya perempuan dan komunitas rentan, yang menghadapi kekerasan dan pelecehan seksual. Survei IJRS tahun 2023 menyebut 70,81 persen responden pernah mengalami pelecehan.
Yang paling menyedihkan dari riset tersebut, sebagian besar korban nggak berani melaporkan kasus tersebut karena takut kehilangan pekerjaan atau dianggap mengada-ada.
3. Eksploitasi anak di dunia kerja
Hasil penelitian BPS pada 2023 menyebutkan, ada lebih dari satu juta anak yang bekerja di Indonesia. Sebagian dari mereka bekerja di sektor informal seperti pertanian dan industri rumahan; yang tentu saja tanpa perlindungan dan upah layak, serta mengorbankan pendidikan.
Sedikit informasi, KPAI mencatat ada 303 laporan eksploitasi anak hanya dalam dua tahun terakhir, termasuk anak-anak yang dipaksa bekerja di tambang atau jadi pekerja rumah tangga.
4. Penipuan berkedok 'Lowongan Kerja'
Di era digital, penipuan kerja makin licik. Banyak pencari kerja muda jadi korban lowongan palsu yang meminta biaya “administrasi” hingga data pribadi. Misalnya, modus “diundang interview” lalu ditipu secara massal pernah terjadi di Jakarta dan Bandung, dengan korban mencapai ratusan orang.
5. Pekerja migran dan jerat perdagangan orang
Sekitar 1.800 lebih pekerja migran Indonesia diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sejak 2019 hingga 2024. Mereka dieksploitasi di luar negeri, tanpa gaji layak, dokumen resmi, atau perlindungan hukum.
6. Ketimpangan dan minimnya perlindungan pekerja informal
Para pekerja di sektor informal seperti driver ojek online, kurir, dan freelancer masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan hukum dan perlindungan sosial. Banyak dari mereka nggak punya asuransi, cuti, atau upah minimum yang jelas.
Catatan kelam di dunia kerja ini bukan sekadar pengingat luka, tapi juga ajakan. Kamu bisa mendorong perubahan lewat kesadaran kolektif; termasuk mendorong regulasi yang adil, menolak diskriminasi, mendukung ekonomi etis, dan berdiri bersama pekerja yang terpinggirkan.
Perlu kamu pahami bahwa seharusnya dunia kerja yang sehat dan mudah dijalani bukanlah bentuk privilese atau keistimewaan, tapi merupakan hak setiap orang dan takdir yang harus diperjuangkan. (Siti Khatijah/E07)