Inibaru.id – Perkembangan umat Katolik di Semarang bermula ketika VOC bubar. Setelah itu pada zaman Raja Napoleon Belanda memberlakukan Undang-Undang Dasar Baru yang isinya menjamin kebebasan beragama. Atas undang-undang tersebut, lalu ada dua imam dari Afrika Selatan yang datang ke Jakarta atau Batavia pada saat itu.
Dua imam tersebut memang nggak bertahan lama, tapi kemudian ada beberapa imam yang datang ke Batavia. Para imam itu berdiaspora, ada yang di Gereja di Batavia ada pula yang di Surabaya. Hingga secara cepat mereka juga melayani Semarang yang ada di tengah.
“Umatnya melulu orang Belanda yang bekerja di Hindia Belanda yang berdagang atau berusaha, atau bekerja di perkebunan. Ada yang punya perkebunan sendiri, ada yang ikut orang di perkebunan,” kata Leonard.
Bangunan di kompleks Gereja Gedangan berarsitektur neogotik. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)
Kemudian baru pada tahun 1998, datang Jesuit Belanda dengan tugas untuk mulai bekerja di antara orang Jawa. Perintisnya yaitu Romo Franciscus Georgius Josephus van Lith, SJ yang setelah tinggal di Gereja Gedangan, dia pindah dan membeli rumah sederhana di Muntilan dengan pekarangan. Di sana Van Lith mencari cara agar bisa diterima di antara orang Jawa.
“Maksudnya terutama membuat masyarakat bisa menjadi setingkat dengan orang Belanda. Sehingga dia mendirikan sekolah terutama pendidikan umum yang mungkin kita sebut sekarang Sekolah Dasar. Kemudian dia mulai mendidik guru,” ceritanya.
Baca juga: Mengenal Sejarah Kompleks Susteran Fransiskanes Gereja Gedangan Semarang
Baca juga: Abraham Fletterman, sang Arsitek Belanda yang Sayang Istri dan Perhatian pada Pribumi
Kemudian sekolah yang dibangun Van Lith pada 1900-an itu berkembang pesat dan mereka menjadi generasi pertama orang Katolik di Semarang. Anak-anak mereka pun kemudian membentuk umat Katolik. Sekolah-sekolah tersebut mempunyai peranan yang besar dalam membentuk jemaat, di mana gurunya Katolik dan muridnya mulai mengenal Katolik.
“Tidak jarang muridnya minta dibaptis dan mereka pernah dibaptis tanpa ijin dari orang tua. Dan orang tua yang pada periode itu mereka menamakan diri mereka Islam, tetapi mereka lebih banyak abangan daripada Islam yang sungguh. Sampai sekarang kelompok itu masih besar,” tutur Leonard.
Sekolah memiliki peran yang signifikan dalam perkembangan umat Katolik di Indonesia. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)
Katolik di Semarang berkembang pula terutama atas peran orang Jawa Katolik dari Jawa Tengah Selatan. Pada saat Belanda diusir, guru Belanda banyak juga diusir. Sehingga sekolah mesti mencari guru baru, lalu mereka mencari bukan di Semarang karena belum ada sekolah guru. Guru dicari di Jawa Tengah Selatan.
Baca juga: Menyingkap Kebenaran Adanya Harta Karun di Rumah Kuno Peninggalan Belanda
Hingga saat ini umat Katolik di Semarang jumlahnya turut meningkat berkat sekolah-sekolah. Di daerah gereja ada beberapa sekolah, seperti sekolah yang ada di kompleks Gereja Gedangan dan sekolah-sekolah yang ada di Jalan Raden Patah seperti SD Kanisius Kobong dan SMP Kanisius Raden Patah.
“Jemaat di Gereja Gedangan sekarang sekitar 6.000. Hanya di Semarang Utara dan sedikit Semrang Tengah sampai ke perbatasan Demak, tapi daerah situ nyaris kosong. Penduduknya juga belum banyak. Semarang saya kira punya 11 paroki,” Leonard menjelaskan.
O ya, Millens, kegiatan antarumat juga pernah diadakan di kompleks Gereja Gedangan dan sekolah-sekolahnya lo. Semoga kerukunan umat beragama terus terjaga ya. (Isma Swastiningrum/E05)