Inibaru.id – Kedai itu berbentuk gazebo, terbuat dari bambu, beratap welit (rumbia), dan dikelilingi pohon-pohon yang rimbun. Buah pohon maja yang telah dikeringkan menjadi hiasan gantungan di sisi depan dan samping. Aneka lukisan di atas kanvas dan di atas kertas berpigura terpajang di beberapa titik. Nggak ketinggalan perpustakaan kecil berdiri gagah menambah rona kedai jadi kian pintar.
Nggak ada papan nama di kedai itu, tapi bagi yang telah berkunjung pasti tahu tempat tersebut adalah Kedai Kopi Kang Putu. Letaknya menyempil di antara rimbunan ladang di perumahan yang masih sepi penduduk di Kampung Gebyog RT. 03/RW. 03, Patemon, Gunungpati. Alih-alih alunan musik kiwari ala kafe-kafe, di sini suara belalang-jangkrik family menjadi soundtrack alami yang meneduhkan.
Siang itu habis zuhur, Minggu (9/2), saya berkesempatan untuk bertemu sang pemilik, yang nggak lain penulis asal Blora, Gunawan Budi Susanto atau yang kerap disapa Kang Putu. Saat itu, alumnus Sastra Undip tersebut tengah berbincang santai dengan pegawainya bernama Ojan.
Sama-sama mengenakan kaos dan celana warna hitam, Kang Putu dan Ojan padha asyik sebat ketika saya mendekat. Di sebuah kursi kayu panjang, saya mendapat cerita yang menarik soal kedai yang pada Mei nanti berusia dua tahun ini.
Ternyata, semua perkakas dan bahan untuk membuat kedai tersebut merupakan hasil pemanfaatan barang-barang yang telah tersedia di alam sekitar. Seperti hiasan buah maja hasil dari pohon maja yang tumbuh di sekitar kedai, salah satu pohonnya dekat dengan pohon durian, letaknya nggak jauh dari tempat pemesanan.
“Sebenarnya nggak istimewa, mungkin barang-barang yang oleh orang lain tidak dilirik, dianggap sepele, remeh, nggak dibayangkan akan dibuat apa saya pakai untuk sesuatu yang indah, yang menyamankan, dan segala sesuatu yang tersedia di alam dan nggak mahal,” kata Kang Putu.
Hal itu terlihat jelas dari interior-interior yang ada di kedai yang nyaris dibuat dari bahan-bahan yang nggak dipedulikan orang. Seperti alang-alang yang dibentuk jadi wayang dan sisa sisikan bambu dibentuk bola lalu digantung. Hingga kedai didirikan menyesuaikan kontur tanah yang lebih rendah daripada sekelilingnya. Nggak perlu repot-repot menguruknya.
Di bawah gazebo terdapat ruang semacam kolam tapi nggak berisi air. Kang Putu memanfaatkannya untuk resapan air hujan. Agar air hujan nggak terbuah sia-sia. Kala hujan, kadang pula ada pelanggan yang protes karena atap rumbianya bocor. Kang Putu nggak malu untuk menadahinya dengan ember.
“Kita terlampau memanjakan diri kena air, padahal tanpa air kita nggak hidup, kena air dikit kok saja kok gitu. Yaudah kena hujan dinikmati, kena air ciprati. Kita jadi sadar kita hidup di bumi, belum di awang-awang. Kena air dikit ya nggak apa-apa. Banyak ya Alhamdulillah, bocor ya bocor saja. Nanti dipel,” ucapnya tanpa beban.
Banyak sekali yang saya pelajari dari percakapan bersama Kang Putu. Pulang dari kedai ini, satu pesan yang akan benar-benar saya ingat, “hidup itu nggak perlu dipersulit.” Kamu setuju nggak, Millens? (Isma Swastiningrum/E05)