Inibaru.id - Pekerja rumah tangga (PRT) atau acap disebut asisten rumah tangga (ART) adalah para "pahlawan" yang memudahkan pekerjaan domestik kita di rumah. Namun, ketiadaan aturan resmi terkait profesi ini membuat mereka begitu rentan mengalami kekerasan dan pelecehan.
Cerita pilu kekerasan yang dialami para PRT nggak satu-dua kali saja kita dengar. Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) bahkan mencatat, ada 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT saat bekerja dalam kurun 2017-2023.
Rofiah, seorang PRT asal Kota Semarang, mengaku selalu waswas melakoni pekerjaan tersebut karena minimnya perlindungan hukum yang memayungi profesinya. Karena itulah dia berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) bisa segera disahkan.
"Saya selalu menunggu, tapi nasib RUU PPRT ini kok sepertinya makin nggak jelas; padahal kami butuh undang-undang tertulis untuk melindungi PRT, bukan mengadalkan aturan lisan," keluh Rofiah yang ditemui Inibaru.id di tengah aksi International Women's Day (IWD) 2023 di Semarang, belum lama ini.
Majikan yang Abai
Turut serta mengikuti rangkaian IWD di depan Kantor Gubernur Jateng, Rofiah mengungkapkan, posisi PRT saat ini memang sangatlah rentan terhadap kekerasan. Perempuan paruh baya itu pun bercerita gimana tetangganya yang juga seorang PRT meninggal tersengat listrik saat bekerja, tapi diabaikan majikannya.
"Dia meninggal kesetrum, tapi majikannya nggak punya iktikad untuk bertanggung jawab. Tetangga saya juga nggak punya BPJS ketenagakerjaan," kenang Rofiah, gusar.
Selain mengalami kekerasan dan diabaikan majikan, dia menambahkan, PRT juga cukup akrab dengan upah yang kecil. Perempuan asal Kecamatan Mijen ini mengatakan, upah yang diterimanya juga cuma cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jauh lebih kecil dari dibanding saat masih jadi TKW.
"Dulu (sewaktu menjadi TKW), upah masih bisa ditabung. Sekarang per bulan cuma Rp800 ribu; kurang banget mengingat kebutuhan pokok sekarang semakin mahal," jelasnya. "Idealnya, pengin disamakan dengan pekerja buruh yang dapat upah sesuai UMR."
Patut Disebut sebagai Profesi
Koordinator Serikat Buruh Independen Jawa Tengah Mulyono mengatakan, PRT adalah sebuah pekerjaan; patut disebut sebagai profesi. Karena itulah dia mendesak wakil rakyat untuk membuka hati dengan mengesahkan undang-undangnya, agar PRT mendapat perlindungan hukum.
"Kita butuh jasa mereka. Kami, kalangan buruh, sama dengan PRT yang menjual jasa, keringat, dan tanggung jawab yang berat. Upah harus diperhatikan, jangan semaunya sendiri. Mereka juga butuh kesejahteraan untuk keluarganya," ujar Mulyono.
Dia mengaku prihatin lantaran sampai sekarang pekerjaan sebagai PRT masih dipandang sebelah mata, padahal sudah selayaknya mereka diakui sebagai profesi yang dilindungi oleh pemerintah. Ketiadaan standar upah dan kontrak, lanjutnya, bisa sangat merugikan mereka.
"Tanpa kontrak yang jelas, kalau diberhentikan secara tiba-tiba, mereka nggak bisa mendapatkan pesangon yang menjadi hak mereka," tegasnya.
Menyayangkan Sikap Wakil Rakyat
Ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Nur Hasanah mengaku sangat menyayangkan sikap wakil rakyat yang nggak juga mengacuhkan para PRT yang menginginkan perlindungan hukum terhadap profesi mereka.
"Sudah 19 tahun penantian dan masih harus menelan kekecewaan? Pedulikanlah keselamatan nyawa para PRT, karena (tanpa UU) mereka sangat mungkin menjadi korban kekerasan," papar perempuan yang akrab disapa Nur tersebut.
Menurutnya, RUU PPRT akan menjadi payung hukum yang tepat untuk para PRT. Aturan tersebut juga memungkinkan mereka memiliki hubungan kerja yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Payung hukum berarti pengakuan. Dengan begitu, pandangan orang terhadap profesi PRT pun bakal berubah ke arah yang lebih baik," kata dia.
Angka kemiskinan yang maish cukup tinggi di Jateng, lanjutnya, nggak lepas dari kecilnya upah yang diterima PRT. Secara retoris dia bertanya, bagaimana negara keluar dari kemiskinan kalau PRT yang telah mencurahkan tenaganya sepenuh hati tidak diberi upah layak, perlindungan, apalagi pengakuan?
"Kami tidak meminta dibayar setara UMR, tapi mendapatkan upah yang layak," tegas perempuan yang juga tercatat sebagai anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) itu.
Mengingat DPR RI memutuskan menunda kembali pengesahan RUU PPRT, agaknya penantian 19 tahun masih harus diperpanjang lagi. Lalu, kapan harapan dan penantian para PRT ini membuahkan hasil? (Fitroh Nurikhsan/E03)