Inibaru.id - Jaringan perempuan di Kota Semarang memeringati Hari Perempuan Internasional atau Internasional Women's Day (IWD) 2023 dengan menggelar aksi di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah pada Rabu (8/3/2023). Sederet tuntutan menjadi tujuan mereka.
Dimulai sejak pukul 09.00 WIB, para peserta aksi mulai berkumpul di depan Gerbang Kampus Pleburan Universitas Diponegoro Semarang, Jalan Imam Bardjo SH, Semarang Selatan. Aksi merupakan gabungan dari berbagai elemen yang terdiri atas para mahasiswa dan aktivis.
Turut serta dalam gabungan yang menyebut diri Jaringan Perempuan itu adalah SG Sekartaji, Serikat Perempuan Pekerja Rumah Tangga, dan Persatuan Perempuan Nelayan Demak. Aksi dilakukan dengan berjalan kaki sembari membentangkan spanduk dan mendendangkan yel-yel menuju "Gubernuran".
Setibanya di depan Gerbang Kantor Gubernur Jateng di Jalan Pahlawan yang telah dilindungi kawat berduri, para peserta memilih membelakangi gedung. Selama beberapa menit, mereka melakukan aksi diam.
Koordinator Aksi Salsabila Dian mengungkapkan, aksi diam tersebut merupakan bagian dari pernyataan sikap para peserta. Aksi ini secara simbolis menggambarkan rasa muak dan marah yang mereka rasakan lantaran suara mereka nggak pernah didengar.
"Dari tahun kemarin, kami nggak pernah didengar. Karena itu kami sengaja memakai masker dengan simbol silang berwarna merah dan melakukan aksi diam sebagai bentuk kekecewaan kami terhadap pemerintah," ujar Salsabila kepada Inibaru.id, Rabu (8/3).
Ada Sembilan Tuntutan
Salsabila mengatakan, ada sembilan tuntutan yang mereka lancarkan pada peringatan IWD 2023 tersebut. Salah satu tuntutan yang paling mereka garis bawahi adalah terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
"Kami mendesak Ketua DPR RI Puan Maharani agar segera mengesahkan RUU PPRT!" tegasnya. "PPRT penting, sebab selama ini asisten rumah tangga (ART) tidak dianggap sebagai pekerjaan formal, terancam kekerasan dan ekspoitasi, serta tak punya ketentuan upah layak dan hak cuti."
Lebih lanjut, alasan para peserta aksi sangat keras menyuarakan pengesahan RUU PPRT adalah lantaran UU yang seharusnya mampu melindungi para pekerja rumah tangga itu belum juga disahkan setelah 19 tahun.
"Sangat menyayangkan. Tahun lalu, selain RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), kami juga meminta pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PPRT. Namun, yang disahkan justru RUU KHUP yang bisa dibilang banyak kontroversinya," tukas Salsabila.
Perempuan Rentan Jadi Korban Kekerasan
Menguatkan pernyataan Salsabila, Ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Nur Hasanah menyebut, dari 2017 hingga 2023 pihaknya mendata, ada 2.641 perempuan yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga mengalami kekerasan.
"Saat perempuan banyak mengalami kekerasan, negara seolah absen dan hal ini tentu tidak bisa dibiarkan," beber perempuan yang akrab disapa Nur tersebut.
Nur pun menambahkan, kalau RUU PPRT disahkan, para pekerja rumah tangga nantinya akan memiliki hubungan kerja yang lebih baik karena mereka diakui, nggak dipandang sebelah mata, dan yang paling utama adalah mendapatkan perlindungan hukum.
"Di balik kesuksesan karier para artis dan pejabat itu ada jasa para ART di belakangnya. Maka, saya kira pekerjaan mereka layak dihargai lebih!" tegas Nur.
Menurutnya, selama ini para pekerja rumah tangga jarang memperoleh kesepakatan tertulis terkait pekerjaan. Upah pun nggak ada aturan standar minimum yang mampu menjamin kesejahteraan mereka.
"Kami tidak menuntut upah pekerja rumah tangga (PRT) harus UMR, tapi diupah dengan layak. Kalau memang nggak sangggup, jangan membebankan semua pekerjaan rumah tangga pada mereka," tandasnya.
Tuntutan yang masuk akal dan memang sudah seharusnya begitu! Semoga aksi diam yang mereka suarakan didengar pemerintah ya, Millens! (Fitroh Nurikhsan/E03)