Inibaru.id - Kebebasan tidak akan tercapai kecuali perempuan telah bebas dari segala penindasan; begitu kata Nelson Mandela. Melihat situasi saat ini, kebebasan versi mantan Presiden Afrika Selatan itu agaknya masih jauh panggang dari api.
Di bawah sistem patriarki yang ada di sekeliling kita, perempuan sering dipandang warga kelas dua dan kaum lemah; membuat mereka begitu rentan mengalami kekerasan. Karena alasan inilah International Women's Day (IWD) perlu diperingati tiap 8 Maret.
Hampir tiap tahun jaringan perempuan di Kota Semarang juga nggak luput merayakannya. Tahun ini, mereka menjadikan perayaan IWD dengan menggelar aksi diam, di samping rentetan pernyataan sikap dan desakan yang termaktup dalam "9 Tuntutan" di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Rabu (8/3).
Barisan peserta sudah berkumpul di titik temu sejak pagi. Nggak hanya kaum hawa yang "merayakan" peringatan tersebut. Di antara mereka juga ada para lelaki. Oya, selain itu juga ada kelompok transpuan yang tampak membaur dalam barisan; mereka semua sama-sama menyuarakan tuntutan.
Hidup Berdampingan
Sejujurnya, saya sangat menyukai pemandangan tersebut: semua orang berdiri berdampingan tanpa kasta dan prasangka, menyuarakan tuntutan yang sama. Saya jadi ingat Silvy Mutiari, Ketua Persatuan Waria Semarang (Perwaris), yang hari itu kebetulan nggak bisa mengikuti aksi.
Perempuan berambut cepak itu pernah mengatakan, keinginan dia dengan kawan-kawan sesama transpuan sebetulnya nggak berlebihan, yakni bisa hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat. Saya pun segera menghubunginya lagi untuk menanyakan pendapat dia terkait peringatan IWD tahun ini.
"Dari tahun ke tahun harapan saya sama, yakni kita semua bisa lebih inklusif agar seluruh masyarakat menerima keberadaan kami," kata dia via pesan singkat nggak lama setelah peringatan IWD 2023 dilangsungkan. “Dalam lima tahun terakhir kami selalu berjuang bersama di peringatan IWD.”
Selain perempuan, kalangan transgender yang menjadi minoritas memang masih menjadi kelompok rentan di Indonesia. Dengan stigma negatif masyarakat terhadap perubahan gender yang terus membayangi, mereka perlu dibela karena selalu ada orang yang bersikap merendahkan.
Menurut Silvy, harapan ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Dia paham dengan stigma negatif tersebut, tapi alih-alih marah, sosok yang telah menjadi Ketua Perwaris sejak 2009 ini justru ingin terus melakukan sosialisasi keberagaman gender kepada mereka.
"Pro kontra di tengah masyarakat pasti ada. Tapi, sebisa mungkin kami ingin meminimalisasi tindakan-tindakan kriminal yang sering dipakai para transfobia untuk mendiskreditkan kelompok kami," tuturnya.
Semarang Semakin Inklusif
Silvy bersyukur hidup di Kota Semarang karena menurutnya, dari tahun ke tahun kota ini kian inklusif, salah satunya dibuktikan dengan kemudahan pelayanan administrasi untuk mereka, termasuk dalam pembuatan KTP. Mereka bahkan memiliki hubungan baik dengan Disdukcapil setempat.
"Saat ini kami sedang berjuang agar pemerintah memberikan jaminan kesehatan berupa iuran kepada teman-teman transpuan yang kurang mampu," akunya.
Lebih lanjut, dia mengaku senang dengan tema IWD tahun ini yang mengangkat jargon #EmbraceEquity atau #RangkulKesetaraan. Menurutnya, setiap orang memang harus saling merangkul segala jenis identitas gender karena hal itu merupakan salah satu cara untuk menghargai ciptaan Tuhan.
"Menghargai identitas gender yang berbeda dengan kita juga cara menghargai ciptaan Tuhan," ungkap Silvy. "Biar tidak ada lagi stigma dan deskriminasi terhadap kelompok minoritas gender."
Mengharapkan Ruang Aman
Meski nggak mau berekspektasi terlalu tinggi, Silvy tetap berharap para transpuan dan kalangan dengan identitas gender minoritas lain memperoleh ruang aman. Hal tersebut agar mereka merasa lebih nyaman saat beraktivitas.
"Ruang aman berekspresi menurut kami adalah bisa menyampaikan identitas gender kepada keluarga dan tidak mengalami persekusi. Sebab, bukan keinginan kami untuk dilahirkan seperti ini," tegasnya.
Silvy mengungkapkan, saat ini tercatat ada 72 transpuan yang jadi anggota Perwaris. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka bekerja pada sektor non-formal seperti penata rias, kapster salon kecantikan, entertainer, petugas LSM, pengusaha, dan pengacara.
Kelompok minoritas yang posisinya lemah di masyarakat sudah seharusnya kita bela, alih-alih terus dipersekusi atau dipandang sebelah mata. Maka, seperti kata Nelson Mandela, jangan berkoar tentang kebebasan kalau mereka belum terlepas dari penindasan! (Fitroh Nurikhsan/E03)