Inibaru.id - Dalam pandangan orang Jawa, dunia bukan sekadar ruang fisik tempat manusia berpijak, tapi juga ruang makna yang tertata rapi oleh hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Pola pikir inilah yang dikenal sebagai kosmologi Jawa yaitu cara orang Jawa membayangkan alam semesta dan menempatkan dirinya di dalamnya.
Menariknya, kosmologi ini bukan sekadar teori abstrak. Ia hidup dan berdenyut dalam arsitektur, tata kota, upacara, hingga cerita rakyat. Dari bagaimana rumah dibangun, bagaimana desa disusun, sampai bagaimana kematian dirayakan. Semuanya mengikuti logika simbolik yang berakar pada pandangan kosmis tentang keteraturan hidup.
Ketika Islam masuk ke tanah Jawa, kosmologi ini nggak hilang. Justru sebaliknya, ia menyerap unsur baru tanpa kehilangan jati dirinya. Di sinilah masjid memainkan peran penting. Masjid nggak hanya hadir sebagai tempat salat, tetapi juga sebagai titik kosmologis pusat kehidupan spiritual dan sosial yang memantulkan nilai-nilai lokal.
Bagi masyarakat Jawa, masjid sering dipandang sebagai poros penghubung antara bumi dan langit, antara manusia dan Sang Pencipta. Letaknya di tengah desa, bersebelahan dengan alun-alun dan keraton, bukan kebetulan. Ia melambangkan keseimbangan dan keteraturan dunia, sekaligus menegaskan hubungan antara kekuasaan, agama, dan rakyat.
Lebih dari itu, masjid juga menjadi wadah ingatan kolektif. Di sinilah masyarakat berkumpul, berunding, merayakan, hingga berduka. Maknanya terus bertumbuh seiring waktu, bukan hanya tempat ibadah, tapi juga ruang di mana identitas Jawa-Islam dikukuhkan.
Dalam kosmologi Jawa yang lentur dan adaptif, masjid bukan bangunan mati. Ia adalah ruang hidup yang terus diisi ulang dengan makna, menyatukan spiritualitas Islam dengan kearifan lokal Jawa. Maka, ketika kita melangkah ke dalam masjid-masjid tua di tanah Jawa, kita sebenarnya sedang melangkah ke dalam peta kosmologis yang menautkan masa lalu, masa kini, dan masa depan orang Jawa.
Melihat masjid dari kacamata kosmologi Jawa mengingatkan kita bahwa spiritualitas nggak pernah lepas dari budaya. Ia hidup, beradaptasi, dan terus menemukan bentuk baru tanpa kehilangan akar. Sudahkah kita membaca jejak itu dengan hati yang terbuka, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
