Inibaru.id - Rabu (27/5) pagi saya memacu kendaraan ke kampung pemulung di Bambankerep, Kedungpane, Semarang. Ya, “kampung baru” yang dihuni oleh pemulung dari berbagai daerah ini terlihat sangat biasa dari luar.
Masuk dari gang paling besar, saya nggak menemukan siapapun. Dinding dari triplek menyambut saya di sisi kanan dan kiri. Sampah yang berceceran di sana-sini mengundang lalat-lalat datang. Hm, kampung ini kelihatan tambah kumuh. Dari kejauhan saya melihat perempuan bersama dua anak kecil.
Baca Juga:
Semringah Mereka yang Berlebaran di TPA Jatibarang; Menemukan Kebahagiaan dari Tumpukan SampahPerempuan tersebut adalah Markisah, ibu dua anak yang diajak oleh sang suami untuk tinggal di kampung pemulung tersebut. Di tengah kegiatannya mengasuh kedua anak laki-lakinya, dia mengaku sempat mudik meski cuma beberapa hari. Lebaran kali ini dia merasa berbeda karena suasananya yang sepi.
“Ada yang belum pulang ke sini (masih mudik), ada yang sudah mulung,” kata perempuan asal Purwodadi ini.
Berjalan lebih jauh, saya melihat rumah yang lebih besar. Dengan jendela yang dibuka lebar, saya bisa melihat beberapa toples dijejer pertanda siap menjamu tamu. Lestari, perempuan 21 tahun yang sudah setahun belakangan ikut memulung mengaku tahun ini nggak bisa mudik karena pandemi. Dia juga mengatakan bahwa susasana Lebaran di kampong pemulung nggak ramai seperti biasanya.
“Sepi gara-gara di lockdown, biasanya nggak pulang kampung juga. Jadi cuma silaturahmi ke tetangga-tetangga,” tutur perempuan satu anak ini.
Nggak lama berselang, orang tua Lestari dan anaknya pulang dari pasar. Sebuah semangka besar kemudian mereka belah untuk dimakan bersama. Muhlisin, ayah Lestari yang telah tinggal di rumah tersebut selama 6 tahun mengaku bahwa baru kali ini dirinya nggak bisa mudik.
“Saya setiap tahun mudik, baru tahun ini nggak mudik,” tutur lelaki asli Bambankerep ini.
Sambutan mereka bikin saya lupa tujuan awal. Ngalor-ngidul Muhlisin dan anggota keluarganya yang lain turut menimpali pertanyaan dari rasa penasaran saya. Pagi itu dada saya terasa hangat, sambutan ramah, jajanan sederhana, dan semangka yang tersaji di meja benar-benar bikin saya bak di rumah saudara sendiri.
Meski dengan berbagai kesederhanaan, Lebaran di kampung pemulung nggak semenyedihkan yang saya bayangkan. Ya, senyum saya tiba-tiba mengembang saat melewati gubuk-gubuk reyot yang memprihatinkan itu. Bagaimana pengalaman Lebaranmu, Millens? (Zulfa Anisah/E05)