Inibaru.id - Di jantung Lasem, sebuah kota kecil yang kaya sejarah di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, kini berdiri bangunan unik menyerupai rumah gadang yang menjadi "kediaman" bagi Museum Islam Nusantara. Bangunan ini telah menarik perhatian sejak soft opening pada 2023 lalu.
Museum ini berdiri megah di kompleks Masjid Jami’ Lasem, tepat di sebelah barat alun-alun kota. Memadukan gaya Rumah Gadang khas Sumatera Barat dengan sentuhan rumah adat Jawa, bangunan ini menjadi simbol kuat dari akulturasi budaya yang hidup lama di Lasem, persinggahan multi etnis: Jawa, Tionghoa, dan Arab.
Lasem adalah daerah penuh cerita, yang sejarahnya lebih tua dari Rembang yang menaunginya. Sejak masa Kerajaan Majapahit abad ke-13 hingga ke-14, Lasem telah menjadi kerajaan kecil yang dipimpin oleh Dewi Indu atau Bhre Lasem, adik dari Raja Hayam Wuruk.
Jejak penting dalam sejarah dakwah Islam juga ditorehkan di tlatah ini. Sekitar abad ke-15, Sunan Bonang, salah satu Wali Songo dan guru dari Sunan Kalijaga, hadir di Lasem dan meninggalkan peninggalan yang masih dirawat hingga kini. Peninggalannya tersebar di Bukit Bonang, mulai dari petilasan hingga masjid dan makam.
Memasuki abad ke-16, muncul tokoh penerus dakwah seperti Mbah Sambu atau Syeh Abdurrahman yang makamnya terletak di kompleks Masjid Jami’ Lasem. Dan pada abad ke-20, tiga tokoh besar asal Lasem ikut mendirikan NU: KH Cholil Abdul Rozak, KH Baidlowi, dan KH Ali Maksum.
Bahkan, Sultan Mahmud dari Minangkabau pun pernah berguru kepada Sunan Bonang dan dimakamkan di Bukit Binangun, Lasem.
Rumah Gadang yang 'Nyasar' di Lasem
Di tengah hiruk-pikuk keseharian Lasem, Hasan Mahfud, seorang penjaga sekaligus pemandu bercerita kepada setiap pengunjung yang datang dengan pertanyaan serupa: Kenapa rumah gadang bisa berdiri di Lasem?
“Lasem ini kota tua, bahkan lebih tua dari Rembang. Dulu, ada Bhre Lasem, adik Hayam Wuruk, yang menjadi raja kecil di sini pada zaman Majapahit,” tutur Hasan pada awal Juni. “Lalu abad ke-15, datanglah Sunan Bonang, dakwah di sini, meninggalkan petilasan, masjid, sampai bende becak di Bukit Bonang sana.”
Hasan kemudian mengisahkan bagaimana Lasem menjadi tempat pertemuan banyak bangsa dan budaya: dari Jawa, Arab, hingga Tionghoa. Menurutnya, ada satu cerita menarik yang orang sering lupa; yakni terkait Sultan Mahmud, raja dari Minangkabau, yang datang ke Lasem untuk berguru pada Sunan Bonang.
"Sultan Mahmud kemudian wafat dan dimakamkan di Bukit Binangun. Nah, dari sinilah inspirasi bentuk rumah gadang ini muncul,” jelasnya.
Museum ini bukan sekadar bangunan megah. Di dalamnya, sejarah Islam Nusantara dipetakan dari abad ke-15 hingga ke-20. Pengunjung bisa menemukan manuskrip-manuskrip kuno, foto para ulama, pecahan keramik dari masa silam, hingga koleksi Al-Qur’an raksasa dari lempengan kayu.
Semua tersimpan rapi di dalam bangunan tiga lantai yang dipenuhi ukiran kayu jati bertuliskan ayat-ayat suci.
“Seluruh daun pintunya terbuat dari ukiran kaligrafi. Target kami, 30 juz Al-Qur’an bisa tertulis di sana. Tapi ya itu, prosesnya panjang. Kalau manual, satu lembar bisa dua belas hari. Akhirnya kami beli mesin ukir, tapi tetap saja, sebagian pakai tangan manusia biar tetap punya rasa,” tutur Hasan.
Pembangunan museum ini dimulai sejak Desember 2019. Meski belum sepenuhnya selesai, bangunan itu telah menyedot perhatian wisatawan dan peziarah.
Selain bentuknya yang menggabungkan gaya rumah gadang Minangkabau dan joglo khas Jawa, museum ini juga mencerminkan warisan akulturasi yang kuat di Lasem.
“Kita punya tokoh seperti KH Ma’shum Lasem yang keturunan Sultan Minangkabau, dan KH Baidlowi dari ningrat Jawa. Jadi bangunan ini memang lambang pertemuan peradaban,” kata Hasan sambil menatap dinding yang dihiasi potret pendiri NU: KH Cholil Abdul Rozak, KH Ali Maksum, dan KH Baidlowi.
Kisah Lain tentang Lasem
Menurut Hasan, museum ini tidak hanya untuk dilihat, tetapi juga direnungkan. Dia berharap generasi muda bisa lebih mengenal sejarah Lasem yang selama ini mungkin hanya dikenal sebagai Kota Batik.
“Padahal Lasem ini dulu punya pelabuhan besar di Pantai Layur. Dari sana, Lasem terhubung dengan dunia luar. Banyak keramik dan barang-barang Tiongkok yang ditemukan di sini, membuktikan Lasem bukan kota kecil biasa,” tegasnya.
Dia pun menambahkan, museum ini bukan sekadar bangunan, tetapi sebuah ikhtiar peradaban.
“Kami ingin generasi sekarang tidak buta sejarah. Museum ini saksi bahwa Islam di Nusantara itu bukan datang dengan pedang, tapi lewat ilmu, seni, dan dakwah yang lembut,” imbuhnya.
Munif, seorang pengunjung dari Wedarijaksa, Kabupaten Pati menilai, kehadiran muserum ini membuat Lasem memiliki satu destinasi wisata lagi. Namun, ini bukanlah semata bangunan untuk piknik atau bertamasya, tapi juga belajar. Belajar, mengenang, sekaligus memahami situasi kala itu.
"Museum Islam Nusantara Lasem kini berdiri megah," ungkapnya, "menjadi ikon baru Lasem di samping bangunan-bangunan tempo dulu. Tak hanya untuk dipotret dari luar, tapi juga diselami dari dalam."
Memang benar. Museum tersebut adalah ruang tafsir atas jejak panjang perjalanan Islam di Tanah Jawa, dari Bonang, Sambu, hingga para tokoh pembaru abad ke-20. Nah, bangunan ini kian memperkaya narasi sejarah tersebut.
"Tempat sejarah berpulang dan masa depan memulai langkah," kata Hasan.
Dirancang dengan tiga lantai, museum ini sedang dalam tahap akhir pembangunan dan telah mencapai 80 hingga 90 persen. Menariknya, seluruh daun pintu dan jendela di lantai tiga diukir dari kayu jati dengan kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang direncanakan akan lengkap 30 juz.
"Karena proses manual yang memakan waktu, pengerjaan dilakukan sebagian dengan bantuan mesin ukir," tutur Abdul Muid selaku pengelola museum di sela-sela penjelasan Hasan.
Tiga Periode Dakwah
Menurut Hasan, berdasarkan kronologis sejarahnya, Lasem mencerminkan tiga periode penting dakwah: abad ke-15 dengan munculnya Mbah Bonang, abad ke-16 oleh Mbah Sambu, dan abad ke-20 oleh para pendiri NU.
Museum ini menampilkan manuskrip biografi para ulama besar, foto-foto, Al-Qur’an raksasa dari lempengan kayu, hingga artefak sejarah seperti keramik kuno yang mengindikasikan hubungan Lasem dengan dunia luar sejak lama.
Hasan juga menjelaskan bahwa koleksi museum akan menampilkan temuan-temuan sejarah yang mencerminkan Lasem sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan. Tak heran, pada masa VOC, Pelabuhan di Pantai Layur, muara Sungai Bagan, menjadi pelabuhan besar.
"Inilah yang memperkuat posisi Lasem sebagai pusat perdagangan dan budaya, selain juga terkenal sebagai sentra batik tulis," tutur Hasan.
Museum Islam Nusantara di Lasem menjadi ikon yang memperkuat posisi Lasem sebagai kota pusaka. Hasan juga membicarakan kebanggaannya atas keberadaan museum ini yang tak hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga wahana edukasi sejarah bagi generasi muda.
Di tengah nuansa tradisi dan spiritualitas yang kental, Museum Islam Nusantara Lasem hadir bukan sekadar tempat penyimpanan artefak, tapi juga ruang hidup bagi warisan sejarah dan kebudayaan yang terus menyala; menjadi bukti bahwa Lasem nggak hanya menyimpan masa lalu, tapi juga menyalakan harapan masa depan. (Imam Khanafi/E03)