Inibaru.id - Matahari sudah mulai condong ke barat saat warga Bukit Manyaran Permai (BMP) membuka lapak di perempatan jalan sekitar sepelemparan batu dari balai RT di kompleks perumahan yang berlokasi di Kelurahan Sadeng, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, pada Sabtu (22/6/2025).
Sore itu, mereka yang merupakan warga RT 6 RW 5 itu akan membuka bazar yang menjadi bagian dari pameran seni rupa dan perhelatan budaya ARTsimetris #2. Sebagaimana pameran pertama, hajat budaya dan kesenian ini juga melibatkan masyarakat setempat.
Baca Juga:
Mengapa Anjing Suka Mengubur Tulang?Melalui gelaran tersebut, Komunitas Pinggir Jurang sebagai penyelenggara ingin melanjutkan napas gelisah yang pernah mereka suarakan tahun lalu lewat ARTsimetris #1. Kali ini, mereka mengusung tema "Eksplorasi Alam dan Budaya”.
ARTsimetris #2 nggak hanya menjadi panggung pertunjukan dan pameran seni rupa, tapi juga ruang refleksi bagi siapa pun yang masih mau mendengar jerit sunyi bumi. Beragam karya seni dihadirkan, termasuk lukisan para maestro terkemuka di Indonesia yang dipamerkan di sisi kiri setelah pintu masuk.
Selain itu, ada pula pertunjukan tari dari Sanggar Omah Sawah, musikalisasi puisi Tahta & Nyok bersama penyair Salamet Unggul, Teater Kolam Kodok, geguritan oleh Pak Yono Nongkosawit, hingga wayang suket dari Lhek Yon, yang meramu kritik sosial dengan cara lembut tapi mengena.
Namun, di antara semua yang memanjakan mata dan telinga, ada satu simbol yang mencuri perhatian, yakni sebatang pohon bermata satu yang berdiri tegak di gerbang masuk.
“Ini bukan sekadar instalasi, tetapi penanda bahwa alam sesungguhnya selalu melihat,” kata Achmad Basuki, sang pendiri Komunitas Pinggir Jurang saat menyambut kedatangan para tamu. "Ini adalah Mata Alam yang menjadi saksi bisu atas keserakahan dan kealpaan manusia terhadap ekosistem."
Melalui simbol ikonik ini, Bas, sapaan akrab Achmad Basuki, ingin "menampar" kesadaran pada pengunjung yang hadir, bahwa kerusakan ekosistem bukan semata salah alam, tapi buah dari kerakusan dan ketidakpedulian yang manusia tanam.
Bagi-Bagi Bibit Tanaman
Apa yang didengungkan Bas dan kawan-kawannya bukan sekadar kata-kata, tapi juga diikuti aksi nyata berupa ajakan untuk menanam. Di tengah acara, mereka membagikan bibit pohon gratis untuk siapa pun yang mau dan mengajak pengunjung untuk pulang membawa bingkisan yang disebut "benih harapan" ini.
"Menanam pohon, menanam kepedulian, menanam kesadaran bahwa hidup manusia tak pernah benar-benar terpisah dari alam," seru Basuki, yang segera disambut tepuk tangan pengunjung yang duduk di bawah rindang pepohonan di depan panggung yang berada tepat di depan rumahnya.
Tak berhenti di situ. Selepas rangkaian acara, Komunitas Pinggir Jurang mengungkapkan bahwa mereka sudah menyiapkan program pendidikan seni gratis untuk anak-anak dan remaja di Bukit Manyaran Permai.
Mereka akan diajak melukis, menari tradisi Jawa, menulis aksara Jawa, hingga belajar adab dan budaya lokal. Kegiatan ini dijadwalkan rutin tiap dua minggu, menjadi benih yang kelak tumbuh menjadi generasi baru, yakni generasi yang mencintai bumi dan merawat budayanya.
“Terima kasih kami sampaikan untuk semua warga BMP RT 6 RW 5, para tokoh masyarakat, Ketua RT, RW, Lurah, Camat, juga Bapak Ade Bakti selaku founding father ARTsimetris. Tanpa dukungan mereka, kami hanyalah suara yang bergema di pinggir jurang,” tutup Basuki, diiringi senyum tulus dan tepuk tangan pengunjung yan kembali menggaung.
Lewat ARTsimetris #2, Komunitas Pinggir Jurang mengingatkan kita satu hal sederhana: seni bukan cuma untuk dinikmati, tetapi juga untuk menumbuhkan hati. Bumi sedang terluka, budaya perlahan merapuh. Maka, barangkali suara seni adalah satu-satunya pelukan yang masih sanggup menenangkan.
Pameran yang menarik ya, Millens? Ajakan untuk menjaga alam dengan menanam sekaligus berkesenian adalah cara bijak untuk mengkritik para pemasung bumi yang kadang bebal saat diajak bicara. Sampai jumpa di pameran-pameran selanjutnya! (Siti Khatijah/E03)