Inibaru.id - Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Abdul Walid dengan tergesa mengeluarkan Beat hitam yang terparkir di garasi kos-kosannya yang berlokasi di Ngaliyan, Kota Semarang. Berjaket denim, berkaus putih, dan bersarung hitam, dia menembus "jalan tikus" andalan yang malam itu tampak lengang.
Hawa dingin yang menggigit kulit nggak menyurutkan minat mahasiswa UIN Walisanga Semarang itu untuk memacu sepeda motornya menuju bilangan Kalialang Lama di Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati. Malam itu, ustaz idolanya mengisi di Semarang, tepatnya di Santrendelik.
Sedikit informasi, Santrendelik, atau lebih tepatnya Santrendelik Kampung Tobat adalah komunitas mengaji yang sedekade terakhir telah menjadi wadah bagi kalangan muda untuk menyeriusi kajian Islam dengan suasana yang lebih santai dan nyaman.
Nah, pada Jumat (20/6/2025), komunitas yang akrab dengan program kajian mingguan Nongkrong Tobat itu kedatangan tamu spesial, yakni Dr Fahruddin Faiz, ustaz asal Yogyakarta yang dikenal piawai memadukan antara akidah Islam dengan kajian filsafat.
"Ini baru kali pertama saya bisa melihat langsung Ustaz Faiz (sapaan akrab Fahruddin Faiz). Sebelum ini hanya lewat Youtube atau penggalan di Tiktok. Karena itu tadi saya bela-belain ngebut, biar nggak telat," ungkap Abdul sesaat setelah memarkirkan kendaraannya nggak jauh dari venue.
Saat Abdul datang, tempat parkir kendaraan sudah penuh sesak. Juru parkir mengatakan, ini jauh lebih banyak dari ekspektasi. Dua tempat parkir yang disediakan, ungkapnya, penuh sesak. Bahkan ada kendaraan yang akhirnya diparkirkan di pelataran sejumlah rumah warga.
Fahruddin Faiz sebagai Gravitasi
Peserta yang datang dalam acara Nongkrong Tobat Autentik ini diyakini pendiri Santrendelik Ikhwan Syaefulloh yang malam itu bertindak sebagai moderator mencapai ribuan orang, yang didominasi para mahasiswa dari sejumlah kampus di Semarang, bahkan dari luar kota.
"Kapasitas tempat duduk di tiga pendopo terisi penuh, termasuk tempat lesehan tepat di depan panggung dan di belakang pendopo utama. Ini benar-benar di luar ekspektasi dan membanggakan untuk seluruh panitia dan sukarelawan yang berjibaku menjadikan acara ini terselenggara dengan baik," ucapnya.
Menurutnya, keberadaan Fahruddin Faiz yang konten-konten kajian filafat keislamannya di medsos begitu diakrabi kalangan anak muda adalah gravitasi yang mampu menarik begitu banyak peserta pada malam itu. Selain itu, tema yang diangkat juga relate banget dengan anak muda yang tengah mencari jati diri.
"Tema yang diangkat adalah Manusia Boneka," tuturnya saat membuka kajian. "Ini adalah upaya untuk menjadi manusia yang utuh atau tentang autentikasi. (Tema) ini kami peroleh dari satu kanal Youtube yang ternyata adalah milik Dr Fahruddin Faiz."
Kenapa ini kemudian menjadi tema besar Santrendelik? Ikhwan menilai, pada dasarnya manusia adalah sosok yang autentik. Nggak hanya karena sidik jari autentik, tapi pikiran dan isi hatinya juga setali tiga uang. Maka, saat hari-hari hanya mengikuti algoritma dan FYP, kita hanya akan hidup sebagai follower.
"Kita hanya mengikuti, sampai akhirnya nggak menemukan diri sendiri, bahkan mungkin nggak pernah lagi berkomunikasi dengan diri sendiri. Jadi, di era yang semuanya serba harus vital ini, sebetulnya yang disebut autentik itu seperti apa?" pantiknya sebelum menyerahkan panggung kepada Fahruddin Faiz.
Menjadi Autentik Menurut Filsuf
Di antara riuh tepuk tangan, Abdul yang memilih duduk di pendopo samping, bersila ditemani kopi dan kudapan gratis yang telah disediakan panitia, terlihat berbinar menyaksikan sosok idolanya yang malam itu tampak bersahaja dengan balutan baju lurik, bercelana hitam, dan berpeci.
Bicara tentang autentisitas, Dr Faiz mengawali diskusi, ada sejumlah filsuf yang pernah mengungkapkan pandangannya tentang hal tersebut, mulai dari Carl Jung, Erich Fromm, Friedrich Nietzsche, Imam Ghozali, hingga Ibnu Arabi.
"Erich Fromm, misalnya, mengatakan bahwa autentik itu 'becoming'. Lawannya adalah 'being'. Manusia adalah sepaket potensi, yang jika dibiarkan begitu saja nggak menjadi apa-apa. Maka, diri yang autentik adalah yang aktif," papar dosen Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
Faiz melanjutkan, menurut filsuf Iran Ali Syariati, manusia memiliki empat tantangan hidup yang harus ditaklukkan, yakni alam semesta, diri sendiri, masyarakat, dan sejarah. Nah, dengan menjadi autentik, tantangan itu bisa dihadapi dengan baik.
"Alam semesta, sebagai contoh, harus ditaklukkan agar kita bisa bertahan hidup. Ini bisa dilakukan kalau kita autentik, misalnya menaklukkan lautan dengan kapal, udara dengan pesawat, atau hujan dengan payung," kata dia.
Menaklukkan Diri Sendiri
Baca Juga:
Saatnya Memanggil Santri Mengaji KembaliSementara itu, berkaitan dengan diri sendiri, Faiz menuturkan, kita bisa disebut berhasil menaklukkan diri sendiri saat kita paham siapa diri kita. Maka, yang disebut autentik adalah ketika kita menjadi diri sendiri. Caranya, tentu saja dengan mengenali diri.
"Sosok yang paling sering kita lupakan acapkali adalah diri kita sendiri. Maka, self awareness, kenalilah diri sendiri. Know yourself, kalau kata Socrates. Ajak komunikasi diri kita," sarannya.
Untuk mengenali diri sendiri, manusia juga membutuhkan sahabat yang bisa memberikan kritik dan menyeimbangkan kita. Selain itu, Faiz mengungkapkan, kita juga perlu mencari sirkel yang mendukung. Jika menemukan lingkungan yang buruk, nggak ada salahnya menjauh.
"Kemudian, miliki tujuan dan jangan terbawa arus. Lakukan segala sesuatu yang relevan menurut kita. Yang cocok dan sesuai," lontarnya sebelum memberikan kesempatan para peserta diskusi untuk bertanya atau menyampaikan pandangannya.
Nadia, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang yang mendapatkan kesempatan perdana pun bertanya tentang cara membedakan antara autentisitas dengan persona, khususnya saat seseorang berada di media sosial, yang segera disambut dengan senyum hangat Dr Faiz.
"Yang tahu bahwa kita autentik atau tidak itu hanya diri sendiri. Saat kita menerima diri kita, itulah autentik. Maka, carilah apa yang relevan menurut diri kita. Mulailah melakukan apa yang ingin ditingkatkan dan yang ditinggalkan," tandasnya.
Dimulai pukul 20.30 WIB, diskusi yang berlangsung hingga menjelang tengah malam itu pun diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari seluruh peserta yang hadir. Abdul yang masih bersila di tempat yang sama pun ikut tersenyum puas, lalu sejenak merenungkan ilmu yang baru saja didapatkannya itu dalam-dalam sebelum beringsut pulang. (Siti Khatijah/E07)