Inibaru.id - Di Kabupaten Klaten ada makam wali yang ramai didatangi rombongan masyarakat. Mereka berbondong-bondong naik bus atau mobil dari luar kota demi bisa berdoa dan mengharap karomah dari wali kekasih Allah. Siapa tokoh yang menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Jawa itu?
Wali itu adalah Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran. Makam sunan yang hidup di masa Kesultanan Demak sekitar abad ke-16 itu ada di perbukitan Gunung Jabalkat di Kelurahan Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Menurut berbagai sumber, jumlah peziarah di Makam Sunan Pandanaran di Bayat, Klaten, bisa mencapai ribuan orang per hari, terutama pada bulan-bulan tertentu seperti Sya'ban dan menjelang Ramadan. Jika datang ke sana, kamu harus melewati 250 anak tangga untuk mencapai makam. Tapi tenang, di kanan dan kiri tangga ada banyak pedagang makanan dan suvenir yang bisa mengalihkan rasa lelah.
Begitu populer di kalangan masyarakat terutama yang suka berwisata religi, siapakah sebenarnya sosok Sunan Bayat atau Pandanaran itu?
Senggaknya ada empat versi kisah mengenai Sunan Bayat. Tapi dari seluruh versi, banyak orang sepakat bahwa Sunan Bayat merupakan putra dari Ki Ageng Pandanaran, Bupati pertama Semarang. Setelah Ki Ageng Pandanaran meninggal, putranya Pangeran Mangkubumi menggantikan sebagai bupati Semarang kedua.
Kisah Sunan Bayat
Dilansir dari buku Cerita-Cerita Legenda di Kabupaten Klaten yang ditulis oleh Danang Susena & Wisnu Nugroho Aji pada tahun 2020, Pangeran Mangkubumi menjalankan pemerintahan dengan baik dan patuh dengan ajaran Islam seperti mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan.
Pangeran Mangkubumi yang dulunya sangat baik kemudian memburuk. Selain itu pemerintahannya sering dilalaikan. Begitu pula dengan perawatan pondok pesantren dan tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara mengetahui hal tersebut lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu untuk menyadarkannya. Semula, Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa sadar dari sifat buruknya.
Akhirnya sang bupati menyadari kelalaiannya dan memutuskan mengundurkan diri dari jabatan dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Kalijaga kemudian menyarankan Ki Ageng Pandanaran berpindah ke selatan tanpa membawa harta dan ditemani istrinya melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, dan Wedi.
Diam-diam, tanpa sepengetahuan sang istri, dia membawa tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan, mereka dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh seorang yang namanya dikenal dengan Syekh Domba. Kemudian, terjadilah perkelahian. Untungnya pasangan suami istri tersebut berhasil mengatasinya.
Selanjutnya, Syekh Domba berubah menjadi makhluk berbadan manusia tapi berkepala domba. Dia akhirnya menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya.
Atas izin Allah SWT, Sunan Pandanaran mengubah Syekh Domba kembali menjadi manusia. Setelah itu, Syekh Domba diberi tugas mengisi tempat wudu pada gentong di masjid yang berada di puncak bukit Jabalkat Bayat, tempat Ki Ageng Pandanaran menetap.
Itulah sepenggal kisah tentang Sunan Bayat atau Ki Ageng Pandanaran yang kini makamnya selalu dikunjungi ribuan peziarah. Kamu sudah pernah wisata religi ke sana belum, Millens? (Siti Khatijah/E07)