Inibaru.id – Di persimpangan jalan yang menghubungkan Kabupaten Purbalingga dengan Pemalang, tepatnya di antara Desa Bobotsari dan Karangduren, Kecamatan Bobotsari, terdapat sebuah monumen ikonik yang dikenal dengan sebutan Tugu Lancip. Lebih dari sekadar bangunan, tugu ini punya cerita sejarah yang cukup menarik, lo.
Bentuk Tugu Lancip sangatlah nggak biasa. Jika di tempat lain kebanyakan tugu biasanya berbentuk seperti lilin yang ramping dan tinggi, Tugu Lancip terkesan “bantat” dengan bentuk limas dan mirip dengan piramida yang lebih runcing. O ya, dalam Bahasa Jawa, istilah “runcing” disebut sebagai “lancip”. Dari kata inilah nama tugu ini berasal.
Menurut Gunanto Eko Saputro dari Komunitas Historia Perwira sebagaimana dinukil dari Suaramerdeka, Senin (30/6/2025), Tugu Lancip berfungsi sebagai penanda wilayah pada zaman dahulu. Konon, tugu ini dibangun pada masa pemerintahan Bupati Purbalingga ke-9, KRA Aryo Soegondo yang menjabat dari tahun 1925 hingga 1949. Meski begitu, banyak yang menduga pembangunannya pada dekade 1930-an.
KRA Aryo Soegondo yang merupakan menantu dari Susuhunan Pakubuwono X Surakarta dikenal sebagai salah satu tokoh yang giat memerintahkan pembangunan infrastruktur di wilayah tempatnya memerintah, termasuk jalan penghubung antara Bobotsari dan Pemalang.
Jalan yang dulunya hanya berupa jalur setapak sempit diperlebar menjadi jalan umum selebar empat meter, dan Tugu Lancip didirikan sebagai penanda dimulainya proyek besar tersebut.
Lebih dari itu, tugu ini juga dulunya berfungsi sebagai batas antara kawasan kota dan area perkebunan. Kawasan sekitarnya memang dikenal sebagai pusat produksi komoditas perkebunan seperti kopi, teh, dan kina. Bahkan, konon di dekat lokasi tugu, dulu terdapat pos pengawasan atau gardu yang berfungsi untuk menjaga keamanan area perkebunan. Sayangnya, gardu tersebut kini telah hilang.
Kalau kamu cermati, pada tugu tersebut terdapat unsur Hindu – Buddha yang sangat kuat, lo. Pada bagian atas, ada motif Kalamakara, hiasan berbentuk wajah raksasa dengan taring dan mata melotot yang sering ditemukan pada pintu candi-candi kuno seperti Borobudur dan Mendut.
Motif ini diiringi dengan makhluk makara, perpaduan antara naga, gajah, buaya, dan ikan. Pada bagian tengah tugu, terdapat pola tumpal berbentuk daun waru yang disusun menyerupai untaian, dihiasi dengan bunga dan tunas.
Di bagian kaki tugu, terdapat relief Bodhisattva Avalokitesvara dalam posisi duduk dengan satu kaki terlipat dan satu kaki menjuntai. Ikonografi ini sangat mirip dengan yang ada di Candi Mendut, menunjukkan adanya pengaruh budaya Hindu-Buddha yang kuat dalam desain tugu.
Nggak cuma motifnya yang menarik, bentuknya yang lancip melambangkan arah vertikal menuju Tuhan, mencerminkan aspek spiritual yang hadir dalam banyak kepercayaan, termasuk Hindu dan Buddha.
Tugu ini juga terbagi dalam tiga tingkat struktur, sejalan dengan konsep pembagian kosmos dalam ajaran Hindu-Buddha, yakni Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu dalam Buddhisme, atau Bhurloka, Bhuvarloka, dan Svarloka dalam ajaran Hindu. Pembagian kosmos ini menggambarkan hubungan antara dunia fisik, dunia spiritual, dan dunia yang tak tampak oleh mata manusia.
Karena kaya sejarah, pada 2018, melalui SK Nomor 432/226, pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga menetapkan Tugu Lancip sebagai cagar budaya. Status ini bikin Tugu Lancip dijaga keberadaannya. Makanya, pada saat ada proyek pelebaran jalan pada 2015, tugu tersebut sampai dipindah agar nggak rusak.
Menarik banget ya kisah Tugu Lancip di Purbalingga ini. Kalau kamu lewat jalan antara Purbalingga dan Pemalang, jangan lupa mampir di lokasi tugu tersebut, ya, Gez? (Arie Widodo/E07)
