Inibaru.id - Ribuan warga tumpah ruah di kaki Gunung Muria pada Senin, 7 April 2025. Bertempat di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, mereka mengikuti Parade Sewu Kupat, sebuah tradisi tahunan yang penuh warna dan makna.
Sejak pagi buta, jalanan desa telah dipadati para peziarah dan warga dari berbagai penjuru, bahkan dari luar kota yang datang jauh-jauh demi menyaksikan kemeriahan ini. Aroma ketupat yang menggoda berpadu dengan udara pegunungan yang sejuk, menciptakan suasana khas yang penuh nostalgia.

Berbalut busana terbaik, wajah-wajah cerah ini menanti iring-iringan gunungan ketupat yang akan diarak dari pelataran makam Sunan Muria. Mereka, dari muda hingga tua, berkumpul saban tahun sebagai laku syukur dalam bentuk pesta rakyat bertajuk Sewu Kupat.
Sedikit informasi, tradisi ini kali pertama digelar pada 2007 dan telah menjadi agenda budaya tetap setiap H+7 Lebaran atau yang acap dikenal sebagai kupatan atau syawalan. Setelah sempat terhenti beberapa tahun akibat pandemi Covid-19, Sewu Kupat kembali dihidupkan pada 2024.

Jeda yang cukup lama rupanya justru memupuk antusiasme masyarakat untuk membuat Sewu Kupat kian akbar. Nggak hanya menjadi perayaan lokal, tahun ini acara tersebut telah menjelma menjadi destinasi budaya yang dinanti wisatawan dari Kudus dan sekitarnya.
“Sejak pukul enam pagi saya sudah di sini, Mas. Katanya acara dimulai lebih pagi dari biasanya,” ujar Nardi, warga Kecamatan Mayong, Kabupaten yang saya temui di tengah perayaan Sewu Kupat. Wajahnya tampak begitu semringah.

Lelaki 30 tahun itu datang bersama keluarganya demi bisa ikut menyaksikan kirab gunungan di lereng Muria ini, sembari berharap bisa membawa pulang parijoto, buah khas Muria yang diyakini bisa membawa keberkahan.
Nardi bukan satu-satunya yang punya harapan demikian. Ribuan warga lain pun turut bersiap menyambut gunungan ketupat, lepet, dan aneka hasil bumi yang akan diarak dari kompleks makam Sunan Muria menuju Taman Ria Colo.
Persiapan yang Matang

Ketua panitia acara Wanto mengatakan, persiapan untuk parade ini telah dilakukan jauh-jauh hari dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat. Menurutnya, Sewu Kupat bukan hanya acara, tapi juga bentuk tirakat dan gotong royong warga.
"Gunungan yang diarak adalah simbol syukur bersama,” terangnya. "Tahun ini, sebanyak 18 gunungan ketupat dikirab, lengkap dengan iringan kumandang selawat dan denting terbang yang menggema dari lereng hingga dataran."

Rangkaian acara Sewu Kupat sejatinya telah dimulai sejak Minggu (6/4) malam, yang ditandai dengan pembacaan manakib dan doa bersama di Taman Ria Colo. Suasana malam itu syahdu; senyap, tapi penuh makna; yang ditandai dengan penyerahan tampah berisi ketupat dan pengisian air gentong ke dalam kendi.
Kedua upa-rampai ini pun kemudian didoakan dan diserahkan kepada juru kunci makam sebagai simbol permohonan berkah kepada Allah melalui karomah Waliullah Raden Umar Sa’id, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Muria.

Oya, kendi dan tampah nggak langsung digunakan, tapi lebih dulu "menginap" semalam di makam sebagai bagian dari laku spiritual masyarakat. Bukan benda itu yang menjadi pusat perhatian, melainkan makna yang dibawanya, yakni harapan agar setiap langkah dan upaya ada dalam lindungan dan keridaan Tuhan.
Keesokan harinya, masyarakat kembali berkumpul di Balai Desa Colo untuk menggelar acara selametan. Doa dan syukur dipanjatkan bersama untuk mempererat ikatan sosial sekaligus meneguhkan tekad menjaga warisan leluhur.

Selamatan ini menjadi titik awal prosesi puncak yang mengantar kendi dan tampah menuju makam Sunan Muria. Dalam iringan yang penuh khidmat, benda-benda tersebut ditandu menyusuri jalan desa, diiringi syair selawat dan alunan terbang yang menambah khusyuk suasana.
Puncak acaranya adalah kirab gunungan dari area gentong makam. Gunungan yang melimpah itu ditandu turun menuju area parkir milik Sugono, warga setempat. Dari sana, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Taman Ria Colo, tempat warga telah menanti dengan penuh semangat.

Doa dibacakan, lalu nggak lama kemudian, warga pun berebut isi gunungan dengan antusias. Pada situasi ini, bukan hanya ketupat atau parijoto yang diperebutkan, tapi juga berkah, harapan, dan doa diam-diam yang dikirimkan saat merengkuhnya.
Tahun ini, tradisi Sewu Kupat dihadiri berbagai tokoh penting, termasuk di dalamnya Bupati Kudus Samani Intakoris, Wakil Bupati Bellinda Putri Sabrina Birton, serta Anggota DPR RI yang juga mantan Bupati Kudus sekaligus penggagas tradisi ini pada 2007, Musthofa.
Lantunan Doa dari Lereng Muria

Tradisi yang juga dihadiri jajaran Forkopimda dan para kepala desa se-Kecamatan Dawe ini menunjukkan bahwa Sewu Kupat bukan hanya tradisi kultural yang sangat lokal, tetapi juga bagian dari kebijakan kebudayaan di Kudus yang dihargai dan dijaga bersama.
Triyan, warga setempat yang hampir nggak pernah melewatkan tradisi dengan nama resmi Parade Sewu Kupat ini menilai, tradisi tahunan yang digelar di kawasan Makam Sunan Muria pada akhir pekan pertama Syawal ini telah menjadi bagian nggak terpisahkan bagi masyarakat.

“Ini bukan tentang arak-arakan saja,” lontarnya, lalu tersenyum. “Kupat (ketupat) adalah simbol bahwa kita mengaku salah. Setelah sebulan puasa, mulai dari awal lagi dengan hati bersih setelah mengaku salah dan meminta maaf.”
Triyan mengungkapkan, bagi dirinya dan mungkin sebagian besar warga Colo, ketupat memiliki fungsi yang lebih dari sekadar makanan khas lebaran, tapi di baliknya juga tersimpan ajaran-ajaran mendalam yang merupakan warisan dari Sunan Muria.

“Ketupat itu simbol ngaku lepat. Mengakui kesalahan. Jadi, setelah Ramadan, kita saling memaafkan. Biar bersih, biar tenang,” jelas Triyan saat istirahat di bawah pohon disela-sela acara. "Terus, janur (daun bungkus ketupat) adalah jatining nur atau cahaya sejati, sedangkan nasi putih di dalamnya adalah lambang kesucian."
Triyan kemudian bercerita tentang filosofi "Laku Papat" yang diajarkan orang-orang tua di Colo, berupa empat nilai hidup yang melekat pada ketupat, yakni lebar, luber, lebur, dan labur.

“Lebar berarti ampunan Tuhan itu luas, sedangkan luber adalah rezeki yang melimpah. Sementara, lebur berarti semua dosa dilebur. Adapun labur bermakna bersih dari iri dengki. Itulah pegangan hidup kami di sini,” ujarnya dengan suara pelan seolah tengah membaca doa.
Jadi, dia melanjutkan, puncak dari Parade Sewu Kupat bagi warga Colo sebetulnya bukanlah saat membawa pulang ketupat hasil berebut isi gunungan raksasa, tapi momen kebersamaan yang mengiringinya; mulai dari pembuatannya yang bermodalkan keikhlasan hingga prosesi makan ketupat bersama.

Triyan meyakini, tradisi Sewu Kupat akan selalu dimulai dengan momen-momen kebersamaan mulai dari proses menganyam janur dan membuat ketupat hingga iring-iringan pembawa gunungan yang diikuti seruan takbir. Menurutnya, ketupat bukan cuma penganan, tapi juga bahasa damai yang universal untuk masyarakat.
“Di lereng Muria ini,” kata Triyan sebelum menutup obrolan, “ketupat bukan cuma hidangan lebaran, tapi juga ajaran hidup.”

Kalau berada di tengah-tengah kerumunan para peserta Parade Kupat Sewu, kamu akan memahami bagaimana masyarakat Colo dan Kudus memaknai keberadaan tradisi ini, termasuk gunungan ketupat yang diperebutkan tersebut.
Menurut saya, Sewu Kupat adalah perwujudan dari harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Ia juga menjadi simbol ikhtiar dan berkah bagi masyarakat setempat yang doa-doanya telah dilantunkan sejak daun janur dianyam dan bulir beras yang putih bersih dimasukkan ke dalamnya.
Keberadaan Parade Sewu Kupat yang kini menjadi destinasi wisata tahunan di Kudus pasca-lebaran tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi masyarakat setempat yang menginginkan kelestarian tradisi unik tersebut. (Imam Khanafi/E03)