Inibaru.id – Sebuah ruangan di sudut rumah Anies baru saja dibongkar. Ruangan ini adalah sebuah "kamar gelap"yang biasa dipakai untuk mencuci film. Namun, sudah lebih dari sedekade ruangan 2x3 meter itu beralih fungsi menjadi gudang; yang kemudian terpaksa dibongkar karena lapuk.
Sejak dunia kamera mengalami digitalisasi, Anies memang sudah nggak menggunakan kamar gelap lagi. Kamera analognya dijual, bertepatan dengan keputusan lelaki paruh baya itu untuk gantung lensa; menjauhkan diri dari dunia fotografi yang digelutinya sejak belia.
Anies bukannya pengin menyerah, tapi teknologi memaksanya berhenti. Kamera analognya nggak cukup untuk dilego DSLR. Keahliannya mencuci film di kamar gelap juga nggak lagi berguna, karena kamera sekarang hanya membutuhkan komputer dan printer untuk mencetak foto.
Di era kamera digital seperti sekarang ini, keahlian mencetak film di kamar gelap memang sudah nggak berguna lagi. Saya masih ingat masa-masa memotret menggunakan kamera saku yang harus dikokang dulu sebelum dijepret. Saya bahkan masih menyimpan klise film hasil jepretan saya pada 2000-an lalu.
Anies mungkin hanyalah satu dari banyak orang yang memilih pensiun karena keahliannya sudah nggak terpakai lagi. Namun, era analog sebetulnya belum benar-benar selesai. Di tengah teknologi kamera digital yang terus diperbarui, beberapa orang justru tampak nguri-uri peranti memotret analog.
Kamera dan rol film menjadi dua peranti yang masih disa ditemukan di pasaran. Namun, nggak demikian dengan tempat cuci-cetaknya. Biasanya, para pencinta kamera yang di media sosial kerap muncul dengan tagar 35mm ini mencuci filmnya sendiri, meski beberapa tempat masih menyediakan fasilitas cuci-cetak yang kerap disebut "afdruk foto" tersebut.
Kalau kamu jeli, tempat afdruk foto itu, meski jarang, terkadang bisa kamu temukan. Di Semarang misalnya, ada Fotogra.film Lab yang belakangan menjadi tempat favorit para pencinta kamera analog memproses rol film hasil bidikan mereka.
Berlokasi di Jalan Argopuro No 21, lab cuci film yang buka pada 2018 itu mungkin merupakan satu-satunya yang tersisa di Kota Semarang. Berbeda dengan Anies yang masih memakai "cara manual", tempat ini sudah menggunakan mesin cuci film yang pada zamannya adalah barang mewah.
Modern dan Konvensional
Gizka Jati Parama Rizki, operator cuci film di Fotogra.film Lab mengatakan, untuk gambar berwarna, mereka menggunakan prosesor film merek Noritsu Qsf V30s. Perlu kamu tahu, harga prosesor film bekas itu di Alibaba masih mencapai puluhan juta rupiah, lo. Gimana dulu, ya? Ha-ha.
Prosesor film itu berbentuk kotak berukuran tinggi sekitar 1,2 meter. Sekilas, prosesor tersebut mirip mesin fotokopi. Cara kerjanya, Gizka menuturkan, rol film tinggal ditaruh ke dalam boks yang ada pada sisi kiri atas prosesor, lalu mesin akan otomatis memprosesnya.
"Begitu dimasukkan, film akan berputar dan tercelup ke dalam tiga cairan (develop, stop bath, dan fixer)," terang Gizka kepada Inibaru.id belum lama ini, sembari menunjukkan tempat rol yang bisa diisi dua buah gulungan dalam sekali proses tersebut.
Sementara, untuk mencuci rol film BW atau hitam-putih, Gizka mengaku masih memakai cara manual. Mereka menggunakan "kamar gelap" berupa sebuah tabung yang diletakkan dalam sebuah kotak kedap cahaya. Menurutnya, perlu feeling yang oke untuk mencuci film hitam putih.
Oya, kamar gelap sudah nggak lagi dipakai karena menurutnya sangat memakan waktu. Meski begitu, beberapa pehobi, imbuhnya, mungkin masih mencuci menggunakan kamar gelap, tapi biasanya untuk rol filmnya sendiri, bukan usaha cuci film seperti di tempatnya.
“Yang pakai kamar gelap biasanya yang benar-benar hobi, digunakan untuk rol film sendiri, sekadar untuk kepuasan," kata dia.
Sesuaikan Komposisi dan Takaran
Berbeda dengan film berwarna yang membutuhkan tiga cairan pencuci, film BW hanya memakai cairan develop dan fixer. Takaran antara cairan untuk film berwarna dengan hitam-putih berbeda. Jadi, kalau pengin mencuci film sendiri, pastikan kamu paham takarannya.
"Kalau nggak tahu (takarannya), bisa beli cairan botolan yang sudah diracik dengan komposisi standar," ujar lelaki berkacamata tersebut.
Gizka yang mengaku sudah mengenal teknik mencuci film lebih dari enam tahun itu menerangkan, mereka menggunakan cairan dengan kualitas terbaik untuk ditempatkan pada mesin prosesor film, terutama cairan develop. Sementara, untuk cairan lain, sebetulnya siapa pun bisa meraciknya sendiri.
“Kadang (pehobi) ada yang beli cairan ukuran saset untuk cuci film hitam putih sendiri secara manual,” ungkapnya, lalu tersenyum.
Gizka memang tampak paham betul dengan pekerjaan yang digelutinya tersebut. Dia sudah mengetahui detail dunia cetak film manual jauh sebelum bekerja di Fotogra.film Lab. Pengetahuan itu dia dapat seiring dengan hobi bermain kamera analog yang mulai digelutinya pada 2015.
Dengan belajar kamera analog, pehobi fotografi yang kadang bekerja lepas sebagai fotografer wedding itu mengatakan, dia juga harus belajar mencuci film sendiri. Ilmu itu dipelajarinya secara otodidak bersama teman komunitasnya.
"Dulu pernah pakai kamar mandi sebagai kamar gelap dengan cara menutup semua celah agar nggak ada cahaya yang masuk," kelakar lelaki yang tiap bekerja selalu terlihat sangat memperhatikan detail tersebut.
Sejauh ini, dia mengaku nggak pernah menghadapi kendala sedikit pun, karena dia selalu mengikuti standar operasi, misalnya selalu memakai kaus tangan saat berhubungan dengan cairan kimia untuk mencuci film.
Cuci dan Scan
Saya masih ingat, belasan tahun lalu, setelah mencuci rol film, saya cuma punya satu pilihan, yakni mencetaknya dalam bentuk lembaran foto, lalu mendapatkan film negatif (klise) untuk cetak ulang. Namun, sekarang ini hasil cuci film biasanya langsung di-scan untuk menjadi berkas digital.
Gizka mengatakan, cuci dan scan film biasanya menjadi satu kesatuan. Proses itu, tambahnya, memakan waktu sekitar 15 menit saja, mulai dari mencuci hingga memindai film.
"Prosesnya cepat, tapi kepada pelanggan biasanya kami bilang 2-3 hari kerja untuk mengantisipasi antrean cuci rol yang kadang menumpuk tiap hari," akunya.
Karena tempat cuci film yang tersisa saat ini nggak terlalu banyak, kebijakan tenggat pengambilan yang dilakukan Fotogra.film Lab menurut saya sudah tepat. Mereka nggak tahu kapan waktunya banyak pelanggan dan kapan saatnya sepi, terlebih untuk Semarang yang nggak memiliki banyak lab cuci film.
“Di Semarang memang Fotogra.film Lab ini satu-satunya cuci scan film yang ada," pungkas Gizka.
Nah, untuk kamu yang tinggal di Semarang, kalau mau cuci, scan, atau cetak foto, silakan main ke Fotogra.film Lab ya. Selain jasa cuci film, mereka juga punya koleksi kamera analog pelbagai jenis, mulai dari pocket, SLR, hingga range finder.
Oya, Kamu juga bisa membeli rol film di tempat itu, lo, Millens! Lengkap banget, kan? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)