Inibaru.id - “Vespa memanglah seperti kehidupan, kalau dipakai terus, semakin banyak cerita,” begitulah yang saya baca. Dulu, saya menganggap kutipan ini hanyalah romantisme para pecinta vespa. Namun, Artha berhasil mengubah persepsi ini.
Artha adalah pemilik Art Classico, toko suku cadang dan pernak-pernik vespa di Kota Semarang, Jawa Tengah. Perihal dunia per-vespa-an, pemuda bernama lengkap Artha Cipta Pratama itu memang sangat fasih lantaran hampir sepanjang hidupnya nggak lepas dari skuter klasik tersebut.
Kepada saya, Artha mengaku mengenal jenama skuter asal Italia itu sejak masih bocah.
"Dari kecil sudah (dibonceng) naik vespa. Bapak sering antar saya ke sekolah naik vespa. Ibu juga kadang naik vespa,” terang lelaki berkacamata itu saat saya temui di tokonya yang beralamat di Jalan Madukoro, Semarang Barat, belum lama ini.
Artha mengatakan, orang tuanya menjadikan vespa sebagai kendaraan sehari-hari bukan karena hobi atau untuk gaya-gayaan laiknya anak muda zaman sekarang, tapi lantaran kondisi ekonomi. Mereka hanya mampu membeli vespa yang harganya jauh lebih murah dibanding motor baru.
Saat itu, sekitar dua dekade silam, kebanyakan vespa memang nggak ubahnya seperti besi tua yang mungkin selangkah lagi dimuseumkan. Pengendaranya kerap dipandang sebelah mata lantaran vespa kerap diasosiasikan dengan kendaraan tua yang selalu mogok di jalan dan nggak laku di pasaran.
Hal serupa juga dialami Artha. Dia mengaku pernah diremehkan temannya karena mengendarai vespa ke sekolah. Namun, kenangan itulah yang rupanya justru membuat dia sulit move on dari kendaraan yang diproduksi sejak 1946 tersebut, hingga berujung mendirikan Art Classico.
Nggak semata menyediakan onderdil vespa, Art Classico juga menjadi showroom jual beli vespa bekas yang cukup terkenal di Kota Lunpia. Dalam setahun, Artha mengaku pernah menjual hingga 120 vespa, dengan pembeli yang datang dari pelbagai wilayah di Indonesia
“(Selain Indonesia) kirim ke Malaysia dan beberapa negara tetangga lainnya juga,” kata lelaki nyentrik tersebut.
Punya Vespa, Banyak Teman
Saat saya menemui di tokonya siang itu, Artha tengah asyik ngobrol dengan kawannya yang sepertinya juga menggandrungi vespa. Mereka banyak mengulas perkembangan dunia skuter klasik yang jujur cuma bisa saya tanggapi dengan nyengir kuda.
Namun, berada di antara kedua pencinta vespa tersebut, saya jadi paham kenapa ada yang bilang bahwa pemilik vespa pasti punya banyak teman. Menurut Artha dan temannya itu, solidaritas para pengendara vespa memang sangat tinggi.
“Solidaritas para anak vespa itu bukan omong kosong," terang Artha yang segera diiyakan temannya. “Jangankan sesama (anak) vespa, kami juga sering tergerak untuk membantu pengendara lain yang ada masalah di jalan.”
Artha pun kemudian bercerita satu pengalaman saat vespa yang ditungganginya mogok di jalan. Masih lekat di ingatannya, vespa yang dia kendarai mogok di bilangan Tembalang. Nggak lama, ada seorang pengendara vespa yang datang membantunya hingga skuternya bisa jalan lagi.
Dari pertemuan ini, mereka pun berkenalan dan semakin akrab. Di situlah Artha mengaku mulai banyak mendapatkan filosofi dan ilmu tentang dunia skuter klasik. Pengetahuan itulah yang kini banyak berguna untuk mengembangkan bisnisnya.
Menurut Artha, pengalaman semacam itu juga dialami oleh sebagian besar pengendara vespa di Tanah Air. Hal itu terlihat dari banyaknya komunitas vespa yang ada di Indonesia. Komunitas-komunitas itu bergerak dari ranah kecil hingga regional, bahkan nasional.
"Tentu saja banyak kenangan yang menyenangkan (dari memiliki vespa), meski nggak sedikit pula kenangan pahitnya," seru Artha, lalu terbahak.
Kenangan pahit yang dialami Artha, salah satunya adalah ketika dia dibuat kesal lantaran vespanya mendadak mogok di jalan pada waktu yang kurang tepat, misalnya saat akan menghadiri acara penting. Namanya juga motor klasik, kemungkinan vespa mengalami masalah di jalan memang nggak terhindarkan.
“Kalau mogok ya paling (skuter) saya tendangin!" kelakarnya sekaligus menutup obrolan kami.
Biar bagaimana pun, vespa tetaplah kendaraan klasik yang telah berusia puluhan tahun. Kemampuannya sudah jauh berkurang, bentuknya pun kadang usang. Tanpa kenangan, ia mungkin nggak lebih dari besi tua yang sudah ketinggalan zaman. Akur, Millens? (Bayu N/E03)