Inibaru.id - Berkali-kali melintas di Jalan Pleburan Barat Semarang, saya bukannya nggak tahu sosok Santoso. Dia bersama mesin jahitnya yang diletakkkan di atas sebuah gerobak usang selalu mangkal di sana, di bawah pohon angsana besar di samping tong sampah, di depan sebuah rumah berpagar hitam.
Namun, karena merasa nggak ada kepentingan, saya nggak pernah mengacuhkannya; hanya sesekali mendengar desir mesin jahitnya yang tampaknya selalu diminyaki. Tapi, tidak untuk kali ini. Celana jins saya kepanjangan dan saya mendadak teringat sosok yang ternyata sangat asyik diajak ngobrol itu.
Belum lama ini, pada sebuah siang yang cukup terik, saya menyambanginya dan duduk agak lama dengan lelaki bertopi yang mengaku berasal dari Kebonrejo, Kabupaten Demak, tersebut. Kala itu Santoso tampak tengah berkonsentrasi, terlarut di depan mesin jahitnya, memermak sepotong celana.
Dia segera tersenyum saat melihat kedatangan saya yang membawa bungkusan. Mungkin dalam benaknya dia berkata: Lumayan, hari ini tambah satu lagi pelanggan! Ha-ha.
Setelah mengangsurkan celana dan memberi instruksi permak yang saya inginkan, dia pun mengambil meteran. Sehabis mengukur, Santoso mempersilakan saya duduk karena saya memilih menunggu. Oya, permak di penjahit keliling biasanya memang bisa ditunggu, dengan proses pengerjaan 20-30 menit.
Sembari menunggu, kami pun mengobrol ringan. Dari situlah saya tahu, lelaki paruh baya tersebut sudah lebih dari 12 tahun melakoni profesi sebagai penjahit keliling. Sebelumnya, dia adalah pekerja pabrik. Namun, dia kena pemutusan hubungan kerja.
“Habis kena PHK sempat mutung, tapi pas ngelihat banyak orang bisa bertahan, terutama yang dari luar kota, jadi bersemangat lagi," kata Santoso sembari memotong celana jins saya.
Santoso pun menabung untuk membeli mesin jahit, lalu meminta teman dan kenalannya untuk mengajari menjahit. Dia pun menggeluti skill barunya itu dengan tekun. Nggak lama, Santoso sudah menguasai berbagai teknik menjahit. Setali tiga uang, semangat juangnya juga terus bangkit.
Pada 2008, dia mulai menjadi penjahit keliling. Sebagai pemula, Santoso mengaku pendapatannya kala itu terbilang lumayan. "Mungkin karena waktu itu belum terlalu banyak saingan, ya?" celetuknya merendah.
Memilih Mangkal
Belakangan, usia yang nggak lagi muda memaksa Santoso berhenti menjadi penjahit keliling. Sebagai gantinya, dia memutuskan mencari tempat mangkal di pinggir jalan yang cukup ramai. Pilihannya jatuh pada kawasan Pleburan, Semarang Selatan, yang dekat dengan beberapa kampus.
"Pleburan ini ramai. Banyak mahasiswa Undip (Universitas Diponegoro Semarang)," terang lelaki bersahaja yang hingga kini masih istikamah mangkal di Pleburan Barat tersebut.
Sejak mangkal, Santoso selalu sudah siap di lapaknya sekitar pukul 07.00 dan baru pulang selepas pukul 17.00. Sayang, pendapatannya saat ini nggak menentu. Setiap hari, dia nggak bisa lagi berekspektasi terlalu tinggi, terlebih di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini,
“Sebelum pandemi, kalau sepi sehari masih bisa dapat Rp 70-an ribu, tapi sekarang paling-paling Rp 10 ribu," serunya, lalu tertawa. Mukanya tampak ceria, tapi ada goresan rasa lelah di mata lelaki yang berusia sekitar 50-an tahun itu.
Selain pandemi, kendala Santoso dalam mengais rezeki adalah musim hujan. Menurut pengakuannya, hujan bisa membuatnya sama sekali nggak mendapatkan pemasukan. Ah, saya nggak habis pikir, betapa sedihnya bekerja hingga sore tapi nggak ada pendapatan sama sekali!
Tiga puluh menit mengobrol, rupanya jins saya sudah selesai dipermak. Setelah berterima kasih dan mengangsurkan ongkos jasa sebanyak yang Santoso minta, yang nilainya sangatlah kecil, saya pun segera menyalakan motor dan berlalu.
Melalui kaca spion, sekilas saya sempat melihatnya duduk termangu. Ah, mungkin dia tengah bernala-nala, adakah yang akan datang lagi setelah ini? (Bayu N/E03)