Inibaru.id – Setiap berkunjung ke restoran baru, saya selalu teringat perkataan Philip Rosenthal. Figur dalam film dokumenter Netflix Somebody Feed Phil itu bilang, restoran bagus membuat kita seperti berlibur; nggak semata bicara makanan, tapi juga pengalamannya.
Hal inilah yang membuat saya memilih berlama-lama duduk di Oud En Nieuw sebelum memutuskan apa yang pengin saya pesan di kafe tersebut. Dari salah satu sudut kafe yang ada di kompleks Kota Lama Semarang ini saya bisa melihat sejumlah pengunjung menikmati kopi dan kue, sementara pramusaji dengan setelan kaus kuning dengan apron hitam tengah menyiapkan hidangan.
Menyambangi Oud En Nieuw setelah WFH panjang tentu menjadi hari istimewa untuk saya. Tempat ini sudah saya incar cukup lama. Ia adalah sempalan Toko Oen, restoran legendaris di Kota Semarang yang terletak di Jalan Pemuda.
Laiknya Toko Oen, kafe yang baru berdiri sekitar dua tahun lalu ini juga menyediakan menu-menu lawas yang mengundang nostalgia. Pilihan saya sebetulnya jatuh pada es krim, dessert yang juga disajikan di Toko Oen. Namun, perut saya menolak dan menyarankan makanan berat.
Waktu memang sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB ketika saya selesai menikmati suasana di Oud En Nieuw. Pilihan saya jatuh pada Creamy Beef Carbonara, pasta Italia yang kata pramusaji merupakan salah satu signature dish di kafe yang berlokasi di Jalan Empu Tantular tersebut.
Harga seporsi carbonara di sini nggak terlalu berbeda dengan kafe lain di Semarang, yakni Rp 45 ribu saja. Mengeluarkan kocek segitu untuk pasta lembut yang dipadu daging cincang lumayan banyak bagi saya worth-a-try sih. Ehm, saya memberi rating 8,5/10 untuk carbonara tersebut.
Selesai dengan carbonara, sebagai hidangan penutup saya memilih panekuk. Seperti es krim, kue dadar yang di sini dinamai pannenkoek (dari bahasa Belanda) itu juga merupakan menu legendaris di Toko Oen yang mengambil konsep hidangan khas Belanda klasik. Saya memilih Pannenkoek Met Banaan En Nutella.
Pannenkoek Met Banaan En Nutella adalah bahasa Belanda yang kurang lebih artinya "panekuk yang bertemu pisang dan nutella". Asyik ya? Ha-ha.
Seporsi pannenkoek di Oud En Nieuw dibuat agak lebar hingga hampir menutupi piring makan; nggak terlalu tebal, tapi juga nggak setipis leker pinggir jalan. Rasanya cukup manis, tapi nggak bikin enek. Dengan topping pisang dan nutella, plus kacang halus sebagai pemberi tekstur, saya yakin bisa menghabiskan dessert ini sendirian.
Panekuk pisang plus nutella ini lumayan mahal, yakni Rp 45 ribu. Namun, untuk pengalaman pertama menikmati hidangan penutup dari Negeri Kincir Angin di tempat yang telah puluhan tahun menyajikan hidangan itu, saya sama sekali nggak menyesal. Serius!
Selesai? Tentu saja tidak! Sebelum ke Oud En Nieuw, generasi ketiga pemilik Toko Oen Megaputri Megaradjasa sempat membeberkan tentang poffertjes kepada saya. Dia mengatakan, kudapan khas Belanda itu telah puluhan tahun menjadi menu andalan di tempatnya.
Yenni, begitu dia biasa disapa, kemudian menyarankan saya untuk mencobanya di Oud En Nieuw. Maka, jadilah saya memesan kue lembut berbentuk bulat yang sekilas mirip kue cubit tersebut. Harganya Rp 25 ribu seporsi.
Memilih poffertjes campur, saya mendapatkan 10 buah kue dengan varian topping meses dan keju parut. Rasanya nggak jauh berbeda dengan pannenkoek, tapi teksturnya lebih lembut dan mudah hancur di mulut.
Seorang pramusaji mengatakan, poffertjes cocok dimakan bersama es krim. Saya pun termakan saran dia, lalu segera berjalan menuju etalase es krim di salah satu sudut di kafe yang menempati bangunan lawas bekas Gedung Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) tersebut.
Sempat bingung menentukan es krim yang saya inginkan dari 16 varian yang disediakan di etalase itu, pilihan saya akhirnya jatuh pada varian Tjendol dan Strawberry Cheesecake. Konon, es krim di sini dibuat dengan mesin tua buatan Italia yang sudah berusia sekitar 80-an tahun, lo, Millens!
Seperti yang saya cicipi di Toko Oen, tekstur es krim di Oud En Nieuw juga terbilang sangat lembut. Manisnya pun nggak keterlaluan. Pas. Menurut saya, kalau kamu pengin menikmati es krim premium yang nyaman di lidah segala umur, tempat ini bisa menjadi salah satu rujukannya.
Varian Tjendol, seperti namanya, secara keseluruhan dibuat layaknya es cendol atau dawet, salah satu minuman dingin tradisional paling populer di Indonesia. Agar bernuansa cendol, es krim ini diberi repihan kelapa serta dikucuri cairan gula merah dan sirup rasa cendol.
Untuk kamu yang pengin bernostalgia rasa, Tjendol bisa banget menjadi pilihanmu. Namun, kalau mau yang lebih modern, Strawberry Cheesecake agaknya lebih cocok. Rasa stroberi yang manis dan sedikit asam serta cheesecake nan manis-asin begitu menyatu di es krim ini. Yummy!
Namun, poffertjes yang saya pesan agaknya nggak cocok dipadukan dengan es krim. Sedikit saran, kalau pengin memadukannya dengan es krim, lebih baik pilihlah poffertjes plain a.k.a tanpa topping, biar nggak merusak rasa es krimnya.
Puas menikmati semua sajian di kafe bertema hitam putih itu, saya pun kembali melempar pandangan mengitari ruangan sekali lagi. Benar sekali kata Phill, restoran bagus memang seperti berlibur; rasanya nggak pengin cepat-cepat pulang! Ha-ha. (Kharisma Ghana Tawakal/E03)