BerandaPasar Kreatif
Jumat, 13 Jun 2025 14:07

Disney dan Universal Menuntut Platform AI, Bisakah Seniman Independen Melawan Juga?

Penulis:

Disney dan Universal Menuntut Platform AI, Bisakah Seniman Independen Melawan Juga?Siti Khatijah
Disney dan Universal Menuntut Platform AI, Bisakah Seniman Independen Melawan Juga?

Ilustrasi: Nggak hanya korporasi, seniman independen pun bisa melayangkan tuntutan saat karyanya dicuplik perusahaan AI tanpa persetujuan. (Pexels/Pavel Danilyuk

Disebut sebagai langkah besar, bahkan kemenangan moral oleh para kreator, bisakah tuntutan yang dilayangkan Disney dan Universal terhadap platform AI Midjourney juga dilakukan para seniman independen?

Inibaru.id - Puluhan tahun menjadi kompetitor di belantika perfilman global, dua raksasa industri hiburan Disney dan Universal kini berjalan beriringan. Bukan untuk kolaborasi proyek film terbaru, keduanya bersatu untuk menggugat startup AI Midjourney ke Pengadilan Distrik California pada 10 Juni 2025 lalu.

Mereka menuding layanan AI image-generation ini melanggar hak cipta dengan menghasilkan gambar karakter terkenal seperti Spider‑Man, Elsa, Minion, Yoda, dan Homer Simpson, tanpa izin atau kompensasi.

Keduanya mendeskripsikan Midjourney sebagai “jurang plagiarisme” dan “virtual vending machine” yang tercemar moral karena menghasilkan gambar berlisensi komersial senilai ratusan juta pengguna tanpa pernah menginvestasikan modal kreatif terhadap karya tersebut.

Bagi Disney atau Universal, ancaman teknologi generatif memang bisa berarti kerugian miliaran dolar. Dalam tuntutan tersebut, mereka meminta ganti rugi yang nggak disebutkan jumlahnya serta perintah permanen untuk melarang Midjourney menggunakan properti mereka pada masa depan.

Bisakah Seniman Independen Menuntut?

Perusahaan global seperti Disney dan Universal tentu mempunyai kuasa yang besar untuk melayangkan tuntutan. Namun, gimana dengan nasib para seniman independen atau kreator rintisan yang juga mengalami nasib serupa?

Pertanyaan ini tentu saja relevan mengingat siapa pun kini bisa “meminjam” karya orang lain hanya dengan sekali klik generate. Jika studio besar saja harus berperang di pengadilan, apa kabar ilustrator, penulis, musikus, atau fotografer rintisan yang karyanya ikut “dimakan” akal imitasi ini?

Bisakah kreator biasa menuntut? Secara harfiah, tentu saja bisa; karena hak cipta nggak mengenal besar kecilnya nama di balik karya. Pakar hukum kekayaan intelektual Prof Edward Lee menegaskan bahwa siapa pun berhak menuntut.

"Siapa saja bisa melayangkan tuntutan jika karya orisinal mereka disalin tanpa izin, termasuk sebagai bahan training AI," tutur guru besar di Chicago-Kent College of Law, AS tersebut pada April 2024 lalu, dikutip dari Time.

Kasus seperti Andersen versus Stability AI membuktikan hal itu. Tiga seniman digital independen melakukan tuntutan terhadap pembuat Stable Diffusion, menuduh ribuan ilustrasi mereka dipakai untuk melatih AI tanpa kompensasi.

“Pelindungan hak cipta tak memerlukan backing perusahaan besar. Tantangan terbesarnya hanya soal pembuktian dan biaya litigasi,” kata Prof Shyamkrishna Balganesh dari Columbia Law School, dinukil dari Harvard Law Review (2023).

Apa yang Bisa Dilakukan Seniman Independen?

Ilustrasi: Agar mempunyai kekuatan hukum di pengadilan, seniman independen harus mendaftarkan hak cipta atas karyanya. (Freepik via Bsybeedesign)
Ilustrasi: Agar mempunyai kekuatan hukum di pengadilan, seniman independen harus mendaftarkan hak cipta atas karyanya. (Freepik via Bsybeedesign)

Lalu, apa yang harus dilakukan para seniman independen? Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan agar kreator rintisan atau seniman independen nggak sekadar pasrah saat karya mereka dibajak bot:

1. Daftarkan hak cipta

Di Indonesia, pendaftaran bisa dilakukan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Resminya, hak cipta melekat otomatis, tapi sertifikat resmi sangat penting saat masuk pengadilan.

2. Gunakan tanda air dan metadata

Tambahkan tanda air, informasi hak cipta, atau digital signature pada fail karya kita untuk memudahkan penelusuran jika muncul “kembaran” pada karya ciptaan AI.

3. Monitor peredaran karya

Manfaatkan reverse image search, platform pendeteksi plagiarisme, atau forum komunitas untuk saling bertukar informasi jika ada karya serupa di dataset AI.

4. Baca Terms of Use platform AI

Beberapa generator AI memperbolehkan pengguna mengunggah referensi visual atau teks. Maka, inilah yang perlu diwaspadai, karena dari situlah karya kita bisa masuk dalam training data AI. Pastikan kamu memahami klausul lisensi platform tersebut.

5. Bergabung dengan aksi kolektif

Gugatan massal (class action) menekan biaya hukum dan memberi daya tawar lebih tinggi. Banyak asosiasi kreator di luar negeri sudah membuka kerja sama lintas negara untuk memerangi "pencurian" atas karya asli kita.

Peringatan untuk Pengguna AI

Nggak hanya perusahaan pengembang, pengguna teknologi generatif berbasis kecerdasan buatan juga sejatinya perlu waspada, karena kita juga bisa terkena tuntutan. Perlu kamu tahu, kreator bisa menuntut kita jika karya buatan AI itu terbukti menjiplak materi berhak cipta.

Berikut adalah beberapa tips yang dirangkum dari sejumlah pakar hukum dan kebijakan berbagai platform berbasis AI generative agar kita terhindar dari tuntutan hak cipta:

  • Gunakan prompt orisinal, jangan paksa AI untuk meniru pesohor atau karakter terkenal;
  • Periksa kembali output. Jika terlalu mirip dengan karya berlisensi, jangan dipublikasikan untuk tujuan komersial;
  • Ikuti kebijakan platform AI. Banyak generator (termasuk ChatGPT, Midjourney, dll) punya larangan keras atas konten ilegal atau berhak cipta;
  • Pelanggaran bisa membuat akun diblokir, bahkan lebih buruk lagi, digugat. Maka, pastikan kita bertanggung jawab saat mengunggah materi untuk "dipelajari" AI. 

Kemenangan Moral Kreator

Kasus Disney dan Universal versus Midjourney bisa dikatakan sebagai "kemenangan moral" bagi para kreator, baik korporasi maupun perorangan. Jika menang, AI seperti Midjourney harus beralih menggunakan data yang berlisensi, yang berarti akan mengubah fundamental model training mereka.

“Ini jadi dukungan besar bagi desainer dan ilustrator yang dulu tergeser AI,” kata Jon Lam, Senior Storyboard Artist di Riot Games, menanggapi kasus tersebut.

Tuntutan ini menjadi langkah besar sekaligus babak baru untuk menata ulang aturan main industri kreatif global di era AI. Jika kamu seorang seniman independen, ingatlah bahwa meski nggak sebesar Walt Disney, hukum akan mengakuimu sebagai pemilik sah karya orisinal.

Mengutip pernyataan ahli hukum Rutgers Law School Ellen Goodman dalam AI Ethics Journal (2024), “Di era generative AI, pembuat karya harus jadi pembela karya. Kalau bukan kita sendiri yang membela diri, siapa lagi yang akan melakukannya?”

Terkait hal ini, harapannya tentu saja semuanya bisa saling mendukung untuk berkembang, baik bagi para kreator maupun platform AI generatif. Panjang umur, Kreativitas! (Siti Khatijah/E07)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved