Inibaru.id - Selain dibagikan cuma-cuma pada event menyambut Ramadan di Semarang Dugderan, Roti Ganjel Rel bukan lagi barang langka. Kini, keik legendaris itu bisa dengan mudah kita temukan di toko oleh-oleh. Beberapa produsen kue rumahan di Kota Lunpia juga memproduksinya secara rutin.
Saat ini, salah satu kue ganjel rel yang paling masyhur adalah bikinan Aunil Fadlilah, pemilik jenama Omah Ganjel Rel. Dialah yang rutin menyuplai keik berwarna kecoklatan tersebut untuk Masjid Agung Kauman, panitia penyelenggara Dugderan, hingga sekarang.
Bahkan, nggak berlebihan menyanjung sosok paruh baya tersebut sebagai salah satu orang yang paling berjasa membuat penganan legendaris yang terinspirasi dari kue khas Belanda Onbitjkoek itu kembali diminati orang Semarang setelah nyaris punah pada awal 1990.
Aunil bercerita, keik yang sudah dikenal masyarakat sejak zaman kolonial Belanda itu mulai sulit ditemukan sekitar awal 1990-an. Pasar tradisional dan toko kue yang biasanya menyediakan keik ini mulai mencoret ganjel rel dari daftar jualan mereka karena kurang diminati.
Ganjel Rel dan Tradisi Dugderan
Hal itu terus berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya. Melihat situasi ini, Pemkot Semarang pun mencoba menginisiasi pelestarian keik beraroma rempah tersebut dengan memperkenalkan ganjel rel lewat tradisi Dugderan pada 2009.
"Pengurus Masjid Agung Kauman dan Wali Kota Semarang kala itu meminta saya membuat ganjel rel untuk dibagikan ke masyarakat," kenang Aunil kepada Inibaru.id beberapa waktu lalu. "Padahal, nggak pernah sekalipun terbesit dalam bayangan saya membuat kue ini. Sama sekali nggak ada gambaran."
Menurut Aunil, dia diberi kepercayaan ini karena para pengurus Masjid Kauman tahu kemampuannya membuat roti. Kala itu, Aunil dan suami juga menjadi bagian dari kepengurusan masjid yang berlokasi di Kompleks Kota Lama tersebut.
"Dari situ, saya mulai tanya ke beberapa orang tua, roti ganjel rel sebaiknya seperti apa?" jelas Aunil. "Nah, kebetulan keluarga paman yang tinggal di sejualan jajan pasar, termasuk ganjel rel. Ya sudah, saya minta resep mereka."
Enam Varian Berbeda
Karena nggak tahu rasa dan tekstur seperti apa yang bisa diterima masyarakat, Aunil pun memutuskan untuk membuat roti ganjel rel dalam enam variasi berbeda, baik dari segi rasa, tekstur, maupun tingkat kepadatan.
"Pas dibagikan, banyak yang komentar, salah satunya ada yang bilang terlalu bantet. Namun, akhirnya ada satu yang dipilih untuk jamuan Dugderan," ujar Aunil.
Saat roti ganjel rel dibagikan ke masyarakat, respons mereka kebanyakan positif. Aunil pun banyak diwawancarai media, bahkan sempat diminta Dinas Kependudukan Kota Semarang untuk mengisi pelatihan membuat roti ganjel rel bagi masyarakat umum.
"Dari situlah lahir para pembuat ganjel rel baru. Saya ikut bangga melihatnya," tutur perempuan bersahaja ini.
Bereksperimen dan Berinovasi
Kendati niat awal Aunil membuat ganjel rel, yakni melestarikan kekayaan kuliner Semarang, sudah terpenuhi, dia mengaku nggak mau berpuas diri. Perempuan berkaca mata tersebut memilih terus melakukan eksperimen dan inovasi agar keik ini bisa diterima semua kalangan.
"Misal, kue yang semula pakai gula jawa, saya ganti dengan gula palem. Terus, teknik produksi saya modernisasi pakai mixer dan pengaturan temperatur suhu. Saya juga perhatikan tekstur dan nilai gizinya."
Pada 2017, Aunil memutuskan memproduksi ganjel rel untuk dijual dalam skala kecil. Di tahun berselang, melalui pelatihan pengembangan UMKM yang diikutinya, dia mulai paham gimana pengemasan yang baik, cara pemasaran online, dan gimana cara menjaga kualitas rasa.
Setelah itu, Aunil mulai memberanikan diri memproduksi ganjel rel skala besar. Dalam seminggu, dia mengaku bisa memproduksi roti ganjel hingga tiga kali produksi, dengan tiap produksi menghasilkan 49 loyang ganjel rel berbentuk balok panjang.
"Untuk sekarang, saya pilih fokus jualan via marketplace, selain melayani pembeli dari luar kota yang datang ke ruamah," tandasnya.
Kelahiran kembali roti ganjel rel untuk masyarakat Semarang tentu harus kita syukuri karena seperti kata Aunil, keik ini adalah kekayaan kuliner yang sebaiknya terus dilestarikan dan menjadi bagian dalam keseharian masyarakatnya. (Fitroh Nurikhsan/E03)