Inibaru.id - Dalam bayangan saya, rumah pelukis selalu bergaya eksentrik. Namun, rupanya nggak demikian dengan Kokoh Nugroho. Rumah pelukis kenamaan Kota Semarang ini tampak lazim, mirip dengan deretan rumah lain di perumahan yang berlokasi di bilangan Pedurungan itu.
Saat menemui saya beberapa waktu lalu, Kokoh juga tampak sederhana dengan balutan kaus hitam dan celana denim, jauh berbeda dengan lukisannya yang bercorak ekspresif dan kaya warna. Namun, dari gaya bicaranya yang penuh gairah, saya tahu kenapa lukisan-lukisannya bertema demikian.
Dia menyambut ramah kedatangan saya. Di tengah kesibukannya menyiapkan pameran tunggal di Jakarta yang tinggal menunggu hari, dia mempersilakan saya bertandang. Kami pun berbincang hangat tentang kegairahannya di dunia seni rupa.
Dengan rasa bangga, Kokoh kemudian menunjukkan beberapa lukisan yang lahir dari jemari lihainya. Ada lukisan yang dia beri nama "Di bawah kelambu tradisi", "Anything, everything for viral", "Kalabendu", dan beberapa lukisan lain dengan berbagai ukuran.
“Lukisan yang ada di sini nanti akan saya dan tim bawa ke Jakarta untuk solo exhibition,” terangnya.
Ya, pelukis yang lebih sering menciptakan lukisan dengan corak ekspresif ini akan menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional Jakarta pada 7 September-7 Oktober 2022. Selama sebulan, dia akan berada di ibukota untuk memamerkan 75 lukisannya, baik yang digambar pada media kertas ataupun kanvas.
Diskusi dengan Diri Sendiri
Mengangkat tema Solilokui, Kokoh pengin bilang ke pengunjung pameran bahwa seluruh karya yang dia tampilkan adalah wujud diskusinya dengan diri sendiri. Tema ini pas dengan kebiasaannya mengamati, menanyakan, memikirkan, menimbang-nimbang segala hal yang terjadi di lingkungannya.
“Banyak pikiran dan kegelisahan dalam hati terkait situasi yang terjadi. Kesenjangan sosial, politik, perang, bencana alam, kelaparan, dan perilaku-perilaku manusia. Semua itu jadi alasan adanya dialog pada diri sendiri yang akhirnya menjadi sumber ide,” cerita Kokoh.
Lalu, benarkah siapa saja yang melihat lukisannya akan menerima pesan sekaligus gambaran kegelisahan Kokoh? Bisakah sebuah lukisan menyampaikan perasaan dan pemikiran sang kreator?
Kokoh nggak ambil pusing soal itu. Lulusan S1 Jurusan Seni Rupa di Universitas Negeri Semarang itu sadar, ketika sebuah karya seni terlahir, saat itu pula penciptanya “mati” dan terpisah dari karyanya. Intepretasi, muatan, dan penilaian secara bersamaan beralih kepada para penikmat lukisannya.
Kokoh yakin mereka yang datang ke ruang pamer akan bisa menangkap keresahan hati yang terwujud dalam lukisan-lukisannya. Meski mungkin nggak bisa dimaknai seratus persen sama dengan yang dia harapkan, toh pesan itu tetap tersampaikan.
“Mereka akan membaca caption dan keterangan. Mereka juga akan merasakan gambar yang saya ciptakan,” katanya.
Pameran Tunggal yang Berbeda
Kokoh merupakan seniman Semarang yang sudah sering menggelar pameran sejak dirinya masih mengenyam bangku perkuliahan. Namun, menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional yang sedang dia persiapkan sekarang ini jelas beda rasanya.
Seperti yang kita semua tahu, Galeri Nasional merupakan sebuah lembaga budaya negara berupa museum seni rupa modern dan kontemporer. Bagi Kokoh dan para pelukis lainnya, menggelar pameran di Galeri Nasional adalah sesuatu yang membanggakan.
“Ini adalah tempat yang prestisius, penting, dikelola negara, dan untuk bisa masuk ke sana nggak mudah,” cerita lelaki penyuka motor trail itu.
Lebih dari sekadar prestis, menurut Kokoh, Galeri Nasional itu “corong” Pemerintah Indonesia untuk menyiarkan para seniman dan karyanya kepada masyarakat luas. Nah, dia ingin lukisan berikut pesan di dalamnya tak berhenti di ruang pamer saja.
“Saya berharap mereka yang datang ke Galeri Nasional nanti semakin bertambah wawasan perihal seni rupa. Saya juga berharap bisa membagi ide, kegelisahan, kritik, solusi yang ada dalam lukisan kepada orang lain,” katanya.
Ya, mendengarnya dengan penuh renjana bercerita tentang karya dan persiapan menggelar pameran, terlihat jelas dia adalah salah satu insan seni rupa yang mencintai pekerjaannya. Dia menumpahkan segenap perhatian, perasaan, gagasan, naluri, keterampilannya untuk membuat karya yang “hidup”.
Beruntung sekali saya selama lebih kurang satu jam menimba ilmu dari pelukis Semarang ini. Selain terima kasih, sebelum pamit saya ucapkan harapan semoga gelaran pameran tunggal di Galeri Nasional berjalan baik dan bisa menebarkan kegembiraan pada orang lain. (Siti Khatijah/E03)