Inibaru.id – Kamu pasti ikutan kaget dan geregetan kan, waktu dengar kabar PBB di Pati naik drastis sampai 250%? Apalagi ada cerita di Jombang yang sampai naik 12 kali lipat! Tapi, di balik hebohnya protes dan penolakan warga, kenapa sih sebenarnya pemerintah daerah (pemda) nekat menaikkan pajak sekelas Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) ini?
Ternyata, alasan di baliknya nggak sesederhana itu lo. Ini semua berhubungan erat dengan kondisi keuangan daerah!
Mendongkrak PAD, Target Kemandirian Fiskal
Menurut para ahli, kenaikan PBB-P2 yang masif di beberapa daerah ini utamanya didorong oleh satu hal: kebutuhan mendesak untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apalagi sekarang, pemda dituntut lebih mandiri secara keuangan.
M. Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan dari Indef, bilang kalau PBB-P2 jadi "solusi cepat" karena pengelolaannya ada di tangan pemda.
"PBB-P2 menjadi instrumen yang relatif cepat dan mudah dioptimalkan karena berbasis pada penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang kewenangannya berada di tangan pemerintah daerah," katanya melansir CNNIndonesia, Kamis (14/8).
Kondisi ini makin parah karena transfer dana dari pusat mulai seret, dana bagi hasil sumber daya alam berkurang, dan retribusi jalan di tempat. Alhasil, pemda pun cari cara instan, alias menaikkan tarif PBB-P2, daripada bikin sumber pendapatan baru yang butuh waktu lama.
Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Bupati Jombang, Warsubi. Ia mengatakan kalau kenaikan PBB-P2 di daerahnya adalah bagian dari penyesuaian peraturan daerah yang wajib dilakukan atas rekomendasi dari pemerintah pusat, yaitu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dampak Buruk yang Mengancam
Tapi, kebijakan ini juga ada risikonya lo, guys! Rizal bilang, kalau kenaikan PBB-P2 dipaksakan secara drastis, bisa memicu tax shock alias "guncangan pajak" yang bikin daya beli masyarakat, terutama yang menengah ke bawah, langsung terpukul.
"Risiko yang lebih serius adalah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah ketika pajak naik tanpa transparansi penggunaan, yang pada akhirnya menurunkan kepatuhan pajak secara sistemik dan mempersulit target pendapatan di masa depan," katanya.
Senada, Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, juga bilang kalau kebijakan ini lahir dari tekanan fiskal yang kuat. PBB-P2 jadi "sasaran empuk" karena datanya sudah ada dan mekanismenya sudah mapan.
"Dalam logika birokrasi, menaikkan tarif pajak dianggap solusi cepat untuk menutup defisit fiskal daerah, meski risiko sosialnya sangat tinggi," jelas Syafruddin.
Syafruddin memperingatkan, jika kenaikan ini dipaksakan, bisa memicu penolakan besar-besaran dan menurunkan kepatuhan wajib pajak. "Kebijakan fiskal yang tidak peka pada kondisi riil masyarakat akan selalu berbalik menjadi bumerang politik," tegasnya.
Solusi Cerdas yang Sebenarnya Ada
Terus, apa nggak ada cara lain? Ada kok! Para ahli menyarankan beberapa opsi yang lebih berkelanjutan:
- Optimalisasi BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) di sektor potensial seperti air bersih dan pariwisata.
- Memperluas basis pajak dengan mendata ulang objek pajak secara digital.
- Mengelola aset daerah yang selama ini menganggur jadi lebih produktif.
- Mengoptimalkan retribusi jasa publik.
Yap, strategi-strategi ini memang butuh waktu dan komitmen, tapi hasilnya lebih stabil dan nggak bikin masyarakat kaget dengan kenaikan PBB-P2 yang mendadak. Patut jadi pertimbangan nih buat para pemda! Gimana pendapatmu, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
