Inibaru.id - Setelah melewati perjalanan panjang sejak digagas enam tahun lalu, akhirnya RUU TPKS resmi disahkan menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Upaya ini dilakukan guna memberikan perlindungan dan kapasitas hukum bagi korban kekerasan seksual.
Sayangnya, undang-undang yang digadang mampu memberikan rasa keadilan bagi korban, dalam banyak kasus tidak benar-benar bisa menjadi payung hukum.
Di Jawa Tengah, kasus terhadap perempuan utamanya kekerasan seksual masih tinggi. Data Lembaga Resources Centre untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJ-HAM) mencatat, pada tahun 2022 ada 123 kasus kekerasan. Sekitar 51 persen yang menjadi korban kekerasan tersebut adalah perempuan.
"Perkiraan sudah sekitar 90 lebih kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2023. Tapi belum dipublikasikan karena masih dalam proses penghitungan," kata Direktur LRCKJHAM, Nur Laila Hafidhoh, pada Inibaru.id belum lama ini.
Perempuan yang akrab disapa Laila itu menyebut, data sementara tahun 2023 dengan 2022 tidak berbeda jauh. Kasus kekerasan seksual masih mendominasi dari deretan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke LRCKJHAM.
Adanya UU TPKS memang jadi angin segar. Korban menjadi banyak yang berani speak up. Tapi, implementasi UU TPKS yang belum maksimal dari aparat penegak hukum bikin pendamping dan korban risau.
"Pada UU TPKS kan sebenarnya sudah ada rincian jenis-jenisnya. Tapi kami sering menemui ketidaksepahaman. Misal, menurut kami kasus ini kekerasan seksual, tapi pihak kepolisian malah punya pandangan berbeda," jelasnya.
Jika kasus kekerasan seksual yang menimpa korban anak-anak, kepolisian mudah menjerat pelaku dengan UU Perlindungan Anak. Sedangkan korban orang dewasa masih menjadi persoalan pelik lantaran sampai hari ini belum ada satu kasus pun yang diproses menggunakan UU TPKS.
"Jadi sampai hari ini kasus kekerasan seksual orang dewasa masih sulit," terangnya.
Belum Satu Suara
Selain LRCKJAM, Peran Unit Perempuan Anak (PPA) Polda Jawa Tengah juga punya data kasus kekerasan seksual. Sepanjang tahun ini tercatat ada 300 kasus yang dilaporkan. Angka tersebut meningkat sebesar 35 persen dibanding tahun lalu.
Melihat kasus kekerasan seksual sangat memprihatinkan, Kanit PPA Polda Jateng, Kompol Munawwarah, menyadari jika jajarannya dengan lembaga penegak hukum lainnya belum satu suara dalam mengimplementasikan UU TPKS.
"Misal kami mau menerapkan UU TPKS, ternyata di kejaksaan harus beginilah. Terus akhirnya kita putuskan untuk pindah dengan UU lain," imbuh Munawwarah.
Dijelaskan Munawwarah faktor belum maksimalnya implementasi UU TPKS lantaran tidak semua penyidik dari tingkat Polda hingga Polres mendapat sosialiasi tentang ketentuan dan lain-lainnya terkait penggunaan UU tersebut.
Namun dia mengatakan pihak kepolisian tidak diam begitu saja. Sejauh ini dari satuan Bareskrim sering mengadakan pelatihan soal penanganan psikologis awal korban kekerasan seksual.
"Mudah-mudahan PPA berdiri sendiri jadi direktorat agar lebih luas lagi wilayahnya. Kemudian penyidik-penyidik sampai tingkat polres ada pelatihan khususnya," bebernya.
Tak hanya itu, Munawwarah berharap seluruh penegak hukum beserta elemen lembaga yang terfokus pada isu kekerasan seksual dapat duduk bersama agar implementasi UU TPKS dapat lebih optimal.
Sudah seharusnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ditangani serius oleh semua pihak dan penegakan UU TPKS benar-benar diimplementasikan dengan baik. Jangan biarkan korban dalam memperoleh keadilan berjuang sendiri! (Fitroh Nurikhsan/E10)