Inibaru.id - Lembaga Resources Centre untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJ-HAM) baru saja merilis laporan terkait situasi kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah (Jateng). Angkanya masih tinggi dan pelakunya orang terdekat korban.
Berdasarkan data angka kekerasan yang dilaporkan LRCKJHAM dalam tiga tahun terakhir, jumlahnya tercatat naik turun. Pada tahun 2020 tercatat ada 140 kasus, lalu tahun 2021 mengalami penurunan 80 kasus dan tahun 2022 meningkat jadi 123 kasus.
Kota yang belum ramah terhadap perempuan adalah Kota Semarang. Sebab dari 123 kasus, hampir setengahnya yakni 56 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Kota Lunpia.
"Ini sebenarnya fenomena gunung es. Ini baru data yang dimiliki LRCKJHAM, belum lembaga-lembaga lainnya yang ada di Jateng," kata Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nia Lishayati saat menyampaikan laporan, Jumat (15/12/23).
Selanjutnya, perempuan yang akrab disapa Nia itu merinci jenis kekerasan yang dialami perempuan. Di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), trafficking, kekerasan dalam pacaran (KDP), pelecehan seksual fisik dan nonfisik, eksploitasi seksual, pemerkosaan, perbudakan seksual, dan persetubuhan terhadap anak.
"Memang kasus KDRT cukup tinggi, tapi kalau secara keseluruhan kasus yang paling mendominasi kekerasan seksual angkanya sebesar 51 persen," tutur Nia.
Pelaku Orang Terdekat
Yang paling memprihatinkan dari permasalahan ini, pelaku adalah orang terdekat korban seperti pacar, teman, guru, ayah kandung, kyai, atasan, tetangga dan lain-lainnya.
"Usia korban sendiri masih didominasi orang dewasa sebesar 87 persen dan sisanya 13 persen anak-anak," imbuhnya.
Sejauh ini LRCKJHAM telah memberi pendampingan bantuan hukum sebanyak 90 kasus. Sayangnya, hanya 22 kasus yang berhasil menempuh proses sampai pengadilan.
Nia menceritakan sebagian kasus ada yang didamaikan polisi. Selain itu stigma dan diskriminasi dari penyidik, misalnya pelaku dan korban berpacaran diartikan suka sama suka jadi sederet tantangan yang selama ini sering dihadapi LRCKJHAM.
"Hanya ada satu korban yang mendapat pendampingan untuk mengakses restitusi," katanya.
UU TKPS Belum Maksimal
Setelah disahkan satu tahun lebih, nyatanya Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) belum jadi jawaban dalam memberikan keadilan bagi korban. Sejauh ini dari ratusan kasus, baru ada satu kasus yang didampingi LRCKJHAM menggunakan UU TPKS.
Menurut Nia, belum maksimalnya UU TPKS lantaran ada beberapa faktor. Pertama, masih ada stigma penegak hukum dalam proses pemeriksaan di kepolisian. Kedua, tidak ada jaminan perlindungan bagi pendamping korban. Lalu pembentukan kelembagaan UPTD PPA di Kabupaten/Kota banyak yang tidak sesuai dengan mandat UU TPKS.
Maka, Nia meminta kepada pemerintah dan penegak hukum di Jateng untuk mensosialisasikan UU TPKS secara masif. Hal ini bertujuan agar korban bisa mendapat keadilan melalui UU tersebut.
"Harapannya itu adanya forum-forum koordinasi kasus kekerasan terhadap perempuan baik lembaga pemerintah, penegak hukum, dan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat," pungkasnya.
Hmmm, melihat data kekerasan yang ada, membuat kita merasa prihatin ya, Millens? Semoga semua pihak segera memahami dan mengimplementasikan UU TPKS lebih maksimal lagi. (Fitroh Nurikhsan/E10)