Inibaru.id - Dentuman suara dari speaker raksasa menggetarkan dinding rumah warga. Parade sound system ini dikenal dengan sebutan sound horeg menjadi semacam "pesta rakyat" di berbagai pelosok Jawa Timur. Bagi sebagian orang, terutama di kawasan selatan, ini bukan sekadar hiburan, tapi juga bagian dari identitas budaya.
Namun nggak semua sepakat. Munculnya fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terhadap pagelaran sound horeg baru-baru ini menambah api dalam bara perdebatan. Di media sosial, komentar pro dan kontra bersahutan. Lalu sebenarnya, dari mana budaya ini berakar?
Menurut Nindyo Budi Kumoro, antropolog dari Universitas Brawijaya, sound horeg adalah cerminan dari karakter masyarakat Jawa Timur, khususnya di bagian selatan, yang cenderung toleran terhadap suara keras. “Mereka sudah terbiasa hidup berdampingan dengan bunyi nyaring,” jelasnya melansir Kompas, Senin (14/7/2025).
Misalnya saja dalam gelaran hajatan, masyarakat nggak segan menyewa sound system dan memutar lagu dangdut dengan volume maksimal, bahkan sejak pagi hari. Musik dianggap mampu membangkitkan semangat dan memeriahkan suasana.
Hal ini dibenarkan Junaedi. Meski dia masyarakat Jawa Tengah tulen, lelaki 49 tahun ini mengakui menyukai musik dengan volume keras. Baginya, musik menjadi menu wajib baginya ketika memulai pekerjaan sebagai perajin genteng sebelum akhirnya pensiun. Apalah pagi hari tanpa musik dangdut zadul dengan suara menggelegar. "Bakal sepi. Nggak semangat," katanya, Rabu (16/7/2025) kepada Inibaru.id.
Menurutnya, orang kecil sepertinya bisa merasakan nikmatnya hidup dengan melakukan hal yang bagi orang lain sepele seperti menyalakan musik. Tapi haruskah dengan volume keras? "Harus!" tegasnya diiringi tawa. Meski begitu, dia mengaku mengecilkan volume musik ketika azan terdengar. Volume musiknya juga nggak sebising sound horeg dari Jatim, namun tetap sangat nyaring.
Periode musik supernyaring di lingkungan saya ternyata nggak berhenti. Setelah Junaedi nggak lagi menjadi perajin genteng, musik keras kini muncul dari kediaman Rosyid (38). Rumah mereka berdekatan.
Lelaki bertubuh tambun ini juga sering menyalakan musik dengan volume maksimal di pagi hari. "Bisa mengurangi stres menjaga anak selama ditinggal istri kerja di pabrik," akunya. "Maklum, saya bapak rumah tangga."
Perbedaan Budaya
Junaedi dan Rosyid merupakan contoh kecil masyarakat pinggiran yang haus akan hiburan. Bukan hanya untuk memeriahkan suasana, hiburan berupa musik keras kata Nindyo juga merupakan perwujudan perbedaan budaya rakyat dan budaya priyayi. Masyarakat petani, katanya, lebih ekspresif dalam berekspresi. Kesenian seperti jaranan, bantengan, dan reog adalah contoh bagaimana suara keras dan gerakan energetik sudah lama hadir dalam kehidupan mereka. Bandingkan dengan tari-tarian keraton yang lemah lembut dan penuh aturan.
Nggak hanya itu, faktor ekonomi juga berperan. “Masyarakat kelas menengah ke bawah cenderung menyukai hiburan murah meriah,” ujarnya. Sound horeg pun menjelma menjadi alternatif rekreasi yang mudah diakses dan terasa dekat dengan keseharian.
Namun, apakah budaya ini akan bertahan lama? Nindyo ragu. “Produk budaya bisa lestari kalau dukungan masyarakat lebih besar dari penolakannya,” katanya. Dalam kasus sound horeg, konflik sosial yang menyertainya bisa jadi penghalang.
Saat sebagian masyarakat menganggap sound horeg sebagai gangguan, sebagian lainnya memeluknya sebagai identitas dan sarana pelampiasan emosi. Ini bukan sekadar soal selera musik tapi benturan nilai, kelas sosial, dan cara memaknai hiburan.
Apakah menurutmu sound horeg hanya soal bising semata, atau justru bagian dari hak budaya untuk berekspresi, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
