Inibaru.id - Fenomena joki Strava tengah jadi sorotan. Di tengah tren hidup sehat dan semangat berlari yang kian diminati, justru muncul praktik nggak sportif. Yap, ada saja yang membayar orang lain agar tampak seperti pelari tangguh di aplikasi pelacak lari, Strava.
Bagi atlet nasional Yaspi Boby, ini bukan sekadar persoalan gaya-gayaan. “Joki Strava ini kecurangan. Tidak ada sportivitas dalam berkompetisi,” tegas peraih medali emas PON cabang atletik ini melansir Kompas, (14/7/2025). Dia menyayangkan bagaimana semangat kompetisi justru dikaburkan oleh ambisi pencitraan.
Sementara itu, dari sudut pandang sosiologis, fenomena ini bersinggungan erat dengan budaya FOMO (fear of missing out). Rissalwan Habdy Lubis dari Universitas Indonesia menyebut praktik ini lahir dari kebutuhan akan pengakuan. “Anak-anak muda ini sebenarnya pengin ikut gaya hidup sehat, tapi dengan cara instan demi konten dan validasi sosial,” jelasnya.
Menariknya, jasa joki ini ternyata menguntungkan di sisi lain. Seorang penjoki bernama Jason mengaku bisa meraup hingga Rp300.000 per kali lari. Nggak heran jika sejumlah anak muda melihat peluang bisnis dari gaya hidup digital ini.
Dampak Psikologis
Secara psikologis, praktik ini menyimpan tekanan yang nggak main-main lo, Gez. Hudaniah, dosen Psikologi dari UMM menyebut joki Strava sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri yang penuh manipulasi. “Itu semacam flexing olahraga, pencapaian palsu yang bisa memicu kecemasan karena takut ketahuan,” jelasnya sebagaimana dimuat Detik (26/7/2024).
Baca Juga:
Kala Otoritas Korea Selatan Semakin Khawatir dengan Meningkatnya Kasus Bunuh Diri di Usia RemajaMenurut Hudaniah, joki Strava juga adalah gejala sosial yang tumbuh subur karena media sosial membuka ruang eksistensi digital yang menggoda. Di tengah dorongan untuk diakui dan diapresiasi, pencitraan jadi lebih penting daripada proses.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial bisa membuat aktivitas sederhana seperti berlari menjadi ajang pamer yang penuh tekanan. Prestasi menjadi tujuan semu. Nilai-nilai seperti disiplin, konsistensi, dan kejujuran yang menjadi inti dari olahraga perlahan tergerus demi likes dan komentar.
Berlari seharusnya jadi perjalanan personal, bukan sekadar kompetisi digital. Strava bukan ajang tipu-tipu. Kalau semua dicapai dengan jalan pintas, apa artinya menjadi sehat jika jiwanya terus berlari dari kejujuran?
Saatnya kembali ke tujuan awal yakni berolahraga demi tubuh, bukan demi validasi semu. Jangan cuma mau terlihat sehat jadilah benar-benar sehat. Gimana menurutmu, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
