Inibaru.id – Selama ini kita mungkin menganggap perubahan iklim sebatas cuaca yang makin nggak menentu atau hobi mengeluh "duh, panas banget ya hari ini!". Tapi bagi para ahli lingkungan, masalah ini jauh lebih serius dari sekadar gerah. Perubahan iklim kini mulai dipandang sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) secara global.
Joyeeta Gupta, seorang profesor lingkungan dari University of Amsterdam, mengungkapkan bahwa krisis iklim telah merenggut hak dasar jutaan orang untuk bertahan hidup. Menurutnya, kenaikan suhu bumi bukan cuma angka di termometer, tapi ancaman nyata bagi eksistensi manusia.
Target 1,5 Derajat yang Belum Cukup Aman
Mungkin kamu sering dengar target Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu bumi di angka 1,5 derajat Celsius. Masalahnya, bagi negara-negara kepulauan kecil, angka itu tetap saja menakutkan.
Kenaikan air laut, intrusi air asin ke sumber air minum, hingga badai ekstrem bisa melenyapkan seluruh wilayah negara mereka dari peta. Bayangkan, kehilangan tanah air karena kesalahan yang mayoritas dilakukan oleh negara-negara industri besar. Nggak adil banget, kan?
Dalam penelitiannya di jurnal Nature, Gupta mencatat fakta pahit: kenaikan suhu 1 derajat Celsius saja sebenarnya sudah melanggar HAM bagi sekitar 100 juta orang di dunia. Padahal, bumi diprediksi bakal melewati ambang 1,5 derajat pada tahun 2030 nanti.
Dampaknya nggak main-main, Gez. Apa saja?
- Gletser Himalaya Mencair: Sekali hilang, nggak akan bisa kembali. Padahal ini sumber air bagi jutaan manusia.
- Ekosistem Runtuh: Hilangnya flora dan fauna yang menjaga keseimbangan hidup kita.
- Pengungsi Iklim: Banyak orang kehilangan lahan dan pekerjaan, terpaksa pindah tapi status hukum mereka sebagai "pengungsi iklim" belum diakui dunia internasional.
Si Kaya Harus Berubah
Gupta menegaskan kalau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nggak akan pernah tercapai kalau gaya hidup masyarakat berpenghasilan tinggi nggak berubah. Negara-negara kaya harus lebih agresif menurunkan emisi mereka.
“Kegagalan melakukan hal itu akan mengubah ketimpangan menjadi ketidakadilan,” tegas Gupta. Singkatnya, kenyamanan di satu sisi dunia jangan sampai dibayar dengan nyawa di sisi dunia lainnya.
Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Volker Turk, juga mengingatkan kalau aksi iklim sebenarnya bisa jadi peluang kalau kita berkomitmen pada transisi yang adil. Melindungi kesehatan, pekerjaan, dan masa depan adalah cara kita memerangi ketidakadilan ini.
Dunia sedang nggak baik-baik saja, tapi dengan mulai peduli dan menyuarakan keadilan iklim, kita masih punya kesempatan buat memperbaiki keadaan. Yuk, mulai kurangi jejak karbon kita dari hal-hal kecil!
Menurutmu, langkah kecil apa yang paling efektif buat bantu bumi kita saat ini? (Siti Zumrokhatun/E05)
