Inibaru.id - Di sejumlah daerah, barisan sawit yang rapi dan menghijau sering dianggap sebagai “pengganti” hutan. Dari kejauhan, pemandangannya tampak meyakinkan bahwa pohon-pohon tumbuh tinggi, daun lebat di kanan–kiri jalan, dan hamparan hijau sejauh mata memandang. Namun, poster edukasi lingkungan yang banyak beredar akhir-akhir ini sebenarnya memberi petunjuk penting hutan bukan sekadar deretan pohon. Ia adalah sistem kehidupan yang jauh lebih kompleks, sesuatu yang nggak dapat ditiru oleh kebun monokultur apa pun, termasuk sawit.
Hutan alami menyimpan biodiversitas yang luar biasa. Di dalamnya ada pepohonan raksasa, semak belukar, lumut, jamur, hingga organisme mikro yang hidup berdampingan dalam jaringan ekologis berlapis yaitu kanopi, bawah tajuk, hingga lantai hutan. Satwa liar seperti burung, primata, mamalia kecil, reptil, serangga penyerbuk menjadikannya rumah.
Sebaliknya, kebun sawit adalah kawasan monokultur. Satu jenis tanaman mendominasi, lantai tanah sering terbuka, dan lapisan ekosistemnya sangat sederhana. Studi yang dikutip The Jakarta Post menegaskan, perkebunan sawit hanya mampu mendukung sebagian kecil spesies hutan. Riset lain yang dipublikasikan ScienceDaily menunjukkan hal serupa. Kebun sawit bukan habitat setara hutan tropis dan sebagian besar spesies nggak mampu beradaptasi di dalamnya.
Hasilnya sudah terlihat di banyak desa sekitar hutan. Semakin sedikit pepohonan asli, semakin sering satwa liar turun ke permukiman mencari makan. Mereka nggak “menyerang”, mereka hanya kehilangan ruang hidup.
Stok Karbon: Hutan Menyimpan, Sawit Membuang
Banyak klaim menyebut sawit “lebih efisien menyerap karbon,” namun para ilmuwan mengingatkan bahwa klaim itu menyesatkan. Menurut Profesor William Laurance yang dikutip Eco-Business, meski sawit tumbuh cepat, total karbon yang disimpan selama daur hidupnya jauh lebih rendah dibanding hutan primer.
Ketika hutan ditebang, karbon yang terkunci selama ratusan tahun terlepas ke atmosfer. Mongabay mencatat, konversi hutan ke sawit terutama di lahan gambut melepaskan emisi dalam jumlah masif. Sawit nggak mampu mengimbangi kehilangan itu, bahkan bisa menjadi sumber emisi baru ketika tanaman tua ditebang dan tanah kehilangan karbon.
Hutan tropis adalah bank karbon raksasa. Sawit hanyalah buku tabungan kecil.
Fungsi ekologis hutan juga nggak berhenti pada keanekaragaman hayati dan karbon. Hutan menjaga kesuburan tanah melalui siklus organik mulai daun gugur membentuk humus, mikroorganisme mengolah nutrisi, dan akar pohon menahan air. Tanah yang sehat membuat debit air stabil, sungai terjaga, dan wilayah terlindungi dari erosi.
Begitu hutan digantikan sawit, siklus itu terputus. Lahan menjadi lebih kering, tanah cepat padat, dan kebutuhan pupuk serta pestisida meningkat. Debit air menurun, longsor dan banjir menjadi lebih sering terjadi, dan suhu kawasan meningkat karena hilangnya kanopi yang meneduhkan.
Di banyak tempat, mata air mati bukan karena kemarau panjang, tetapi karena hilangnya pepohonan hutan.
Beberapa penelitian, seperti yang dirilis University of York, menemukan bahwa menyisakan sekitar 10 persen hutan asli dalam lanskap perkebunan dapat membantu menjaga sebagian kecil karbon dan biodiversitas. Namun angka itu tetap terlalu kecil untuk menggantikan kehilangan ekosistem hutan yang jauh lebih luas. Fragmentasi tetap terjadi, dan fungsi ekologis hutan tetap menurun drastis.
Hutan adalah satu kesatuan. Memisahkannya menjadi potongan-potongan kecil nggak akan membuat ekosistem bekerja seperti sediakala.
Hutan Nggak Tergantikan
Hutan memberikan manfaat yang nggak bisa dihitung hanya dengan angka ekonomi. Ia menjaga air, menopang tanah, menstabilkan iklim, menyediakan habitat satwa, hingga menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati. Sementara perkebunan baik sawit, kopi, maupun karet memberi manfaat ekonomi jangka pendek yang penting bagi masyarakat, tetapi nggak dapat menggantikan kehidupan yang diberikan hutan.
Ketika hutan hilang, yang hilang bukan hanya pepohonan. Kita kehilangan penyangga kehidupan.
Karena itulah, setiap wacana mengganti hutan dengan kebun monokultur harus dilihat sebagai lebih dari sekadar keputusan tata guna lahan. Itu keputusan tentang masa depan, apakah kita ingin lingkungan yang stabil, atau ladang luas yang perlahan mengering. (Siti Zumrokhatun/E05)
