Inibaru.id - Jika Raja Saudi senantiasa memakai keffiyeh sebagai penutup kepala, masyarakat Pulau Jawa dan Bali memiliki udheng dalam keseharian mereka. Selain berfungsi sebagai penutup kepala, udheng juga acap digunakan sebagai simbol identitas tertentu.
Masyarakat Jawa, Bali, dan Sunda, menyebut udheng dengan sebutan yang berlainan. Nama udheng biasa digunakan orang Bali. Sementara sebagian masyarakat Jawa menyebut udheng dengan sebutan iket, sedangkan orang Sunda menamainya totopong.
Kendati berbentuk mirip, yakni merujuk pada penutup kepala dari kain bagi laki-laki, udheng masing-masing daerah di Jawa dan Bali memiliki bentuk dan motif yang berbeda, tak terkecuali udheng Banyuwangi.
Baca juga:
Menong: Boneka Keramik Nusantara dari Purwakarta
Simbol-simbol Kehidupan dalam Benang Bintik
Dilansir dari Detikcom, masyarakat Osing Kemiren di Banyuwangi tak hanya menjadikan udheng sebagai penutup kepala, melainkan juga perlengkapan wajib saat menggelar ritus bagi laki-laki.
Bentuk persegi pada kain udheng memiliki inti atau pusat. Dalam filosofi Jawa, hal ini dipahami sebagai ekspresi keyakinan masyarakat tentang pandangan hidup.
Ketua Komunitas Batik Jawa Timur di Surabaya (Kibas), Lintu Tulistyantoro, mengatakan, prinsip pemikiran manusia Jawa terbagi dalam empat ruang dengan satu pusat. Empat ruang tersebut, lanjutnya, mengacu kepada empat arah penjuru mata angin dengan satu pusat.
Ia mengungkapkan, konsep pemikiran semacam itu merupakan bentuk keseimbangan untuk mencapai harmoni.
“Sebagian besar Udheng Osing masih menggambarkan kupu-kupu pada ujungnya sebagai lambang kesempurnaan yang harus meninggalkan keindahannya untuk mencapai satu kesempurnaan dari kehidupan ini," paparnya, Kamis (5/10/2017).
Adapun tata cara penggunaan udheng Osing secara umum dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah udheng tongkosan. Udeng jenis ini menutupi seluruh kepala dengan dua segitiga di sisi kanan dan kirinya.
Sementara, jenis kedua adalah udheng sampatan. Udheng yang ini terbuka di bagian atas dengan segitiga di bagian belakangnya.
"Udheng tongkosan ini resmi dan digunakan saat ada acara formal dan ritual, sedangkan udheng sampatan itu lebih santai, biasanya digunakan oleh para penari dan pemain musik," ujar Budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariono, sembari mencontohkan pembuatan udheng sampatan.
Baca juga:
Robo-Robo, Makan Bareng Simbol Pemersatu
Molubingo, Sunat Perempuan di Gorontalo
Konon, setiap udheng memiliki aura yang mampu membuat seseorang merasa lebih percaya diri.
"Orang yang pakai udheng sama yang nggak pakai itu kethok (terlihat) beda, auranya beda. Orang yang pakai udheng biasanya terlihat lebih percaya diri," ujar pria yang menjabat Seksi (Kasi) Adat dan Cagar Budaya di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi ini.
Aekanu mengaku tiap udheng memiliki aura khas. Hal ini dibuktikan dengan pengalamannya saat ia mengadakan pameran ke Prancis pada Mei lalu.
"Dulu saya waktu pameran ke Prancis orang-orang pada lihatin saya, bahkan sampai ada yang ngajak saya foto. Mereka tertarik lihat saya pakai udheng, padahal ada juga lo yang pakai udheng selain saya," kenangnya, lalu tertawa. (GIL/SA)