Inibaru.id – Sebuah perjalanan wisata sejarah dan religi bertajuk Menjelajahi Kauman Menara yang diadakan oleh komunitas Cerita Kudus Tuwa (CKT) menjadi pengalaman berharga bagi para pesertanya.
Sore itu, puluhan orang berkumpul di Taman Menara Kudus, titik awal perjalanan yang akan membawa mereka menelusuri jejak Islam yang mengakar kuat di kota ini.
Antusiasme peserta terlihat jelas saat acara dibuka dengan pemaparan singkat tentang pentingnya pelestarian warisan budaya oleh Yusak Maulana, seorang pegiat sejarah dari komunitas CKT.
“Kudus tidak hanya kaya akan sejarah Islam, tetapi juga menyimpan bukti nyata bagaimana akulturasi budaya tetap hidup dalam tradisi masyarakatnya,” ujar Yusak.
Menapak Sejarah Islam

Perjalanan dimulai dari Masjid Madureksan, salah satu masjid tertua di Kudus yang menjadi saksi penyebaran Islam sejak berabad-abad silam. Masjid ini memiliki arsitektur unik yang masih mempertahankan unsur tradisional khas Kudus.
“Banyak orang tidak tahu bahwa masjid ini berperan penting dalam dakwah Islam, terutama oleh para ulama terdahulu yang menyebarkan Islam dengan pendekatan yang lembut dan bijaksana,” jelas Yusak.
Dari Masjid Madureksan, peserta melanjutkan perjalanan menuju Menara Kudus, ikon utama yang tak hanya menjadi simbol kota tetapi juga pusat penyebaran Islam di wilayah ini.
Sepanjang perjalanan, peserta melewati Gapura Arya Penangsang, sebuah peninggalan sejarah yang konon berkaitan erat dengan sosok Arya Penangsang, tokoh penting dalam sejarah Kesultanan Demak dan Jipang.

Di kawasan Menara Kudus, para peserta dibuat kagum dengan keunikan arsitektur yang menggabungkan unsur Islam, Hindu, dan Buddha.
“Menara Kudus ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga bukti bagaimana Islam di Kudus tumbuh dengan merangkul budaya lokal,” tambah Yusak.
Salah satu yang menarik perhatian peserta adalah Kori Agung atau Lawang Kembar, pintu masuk kompleks masjid yang menjadi bukti perpaduan budaya Islam dan Hindu-Buddha.
Tidak hanya itu, di dalam masjid juga terdapat Prasasti Tajdid dan mimbar kuno yang menjadi saksi penyebaran ajaran Islam di Kudus.
Padasan Kuno dan Makam Ulama

Setelah dari Menara Kudus, peserta melanjutkan perjalanan menuju Asta Sanghika Marga, padasan atau tempat wudhu dengan arsitektur unik dan kuno yang mencerminkan jejak budaya Hindu-Buddha dalam desainnya.
“Ini adalah contoh nyata bagaimana Islam di Kudus tidak menghapus budaya yang sudah ada, tetapi justru merangkulnya dengan bijak,” jelas Yusak.
Perjalanan berlanjut ke kompleks makam di sekitar Menara Kudus, termasuk makam ulama besar seperti KHR Asnawi, Pangeran Pandaran III, V, VI, hingga makam utama Sunan Kudus.
Menurut Yusak, setiap makam memiliki kisahnya sendiri tentang bagaimana Islam disebarkan di Kudus. Salah satu yang menarik perhatian peserta adalah makam berbahan batu karang yang menjadi bukti keterkaitan Kudus dengan jalur perdagangan dan pengaruh budaya maritim pada masa lalu.

“Batu karang ini bukan hanya bahan bangunan, tetapi juga bukti sejarah bahwa Islam di Kudus berkembang di tengah lalu lintas perdagangan yang ramai, menjadikannya pusat budaya yang dinamis,” ujar Yusak.
Selain kompleks makam, perjalanan berlanjut ke Masjid Kenepan (Abyad) yang telah berdiri sejak 1694. Masjid ini memiliki sejarah panjang sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan penginapan bagi para Walisongo kala menyebarkan Islam di Tanah Jawa.
Dalam perkembangannya, masjid ini telah mengalami dua kali renovasi, termasuk pada tahun 1818 yang menjadi awal berdirinya Madrasah Diniyyah Mu’awanatul Muslimin, madrasah tertua di Kudus.
Tradisi Islam yang Mengakar Kuat

Sambil menelusuri gang-gang kecil di kawasan Kauman Menara Kudus, peserta diajak memahami lebih dalam tentang kehidupan masyarakat yang masih menjaga tradisi Islam dengan kuat. Beberapa masjid bersejarah lain yang dikunjungi adalah Masjid Al-Hikmah atau Masjid Kerjasan.
Masjid Al-Hikmah memiliki peran unik sebagai tempat ibadah bagi para pekerja dan buruh sekitar yang sering menggunakannya untuk salat berjamaah di sela-sela pekerjaan mereka.
Perjalanan dilanjutkan ke Masjid Mujahidin atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Sayangan. Masjid ini memiliki peran penting dalam perjuangan melawan penjajahan.
“Dulu, area di sebelah utara masjid ini menjadi tempat berkumpulnya kaum hisbullah (pejuang Islam) dalam menyusun strategi perlawanan terhadap penjajahan,” tutur Yusak.

Masjid Sayangan juga menyimpan kisah RM Aryo Penangsang, murid kesayangan Sunan Kudus, yang konon pernah singgah di sini dalam perjalanan spiritualnya.
“Sejarah Kudus tidak hanya soal agama, tetapi juga soal perjuangan, baik dalam menyebarkan Islam maupun mempertahankan kedaulatan bangsa,” tambah Yusak.
Menjelang sore, perjalanan sejarah ini mencapai titik akhir di Madrasah Qudsiyyah, lembaga pendidikan Islam yang telah berdiri sejak 1919. Didukung dengan kurikulum berbasis salaf dan Kitab Kuning, madrasah ini menjadi pusat pendidikan Islam klasik yang masih bertahan hingga saat ini.
Setelah rangkaian perjalanan panjang, peserta kembali berkumpul di kawasan Menara Kudus untuk melakukan refleksi bersama. Banyak di antara mereka yang merasa pengalaman ini sangat berharga, memberikan wawasan baru mengenai sejarah dan spiritualitas Islam di Kudus.
Sejarah yang Kaya dan Dalam

Selama perjalanan, hampir seluruh peserta tampak terkesan, bahkan sesekali tercengang, menyaksikan tempat-tempat bersejarah di Kauman yang mereka lalui; yang sebagian di antaranya sama sekali belum pernah mereka tahu sebelumnya.
“Saya tidak menyangka bahwa Kudus memiliki sejarah Islam yang begitu kaya dan mendalam. Melihat langsung tempat-tempat bersejarah ini membuat saya semakin menghargai warisan yang ditinggalkan para ulama terdahulu,” ujar Faruq, salah satu peserta yang terkesan dengan perjalanan ini.
Faruq menilai bahwa perjalanan ini membuka wawasannya tentang peran para ulama dalam membentuk identitas keislaman di Kudus. Baginya, setiap situs yang dikunjungi nggak sekadar menjadi peninggalan sejarah, tetapi juga bukti nyata perjuangan dan perkembangan ajaran Islam di daerah tersebut.
"Pengalaman ini memberi saya perspektif baru tentang bagaimana nilai-nilai keislaman tetap terjaga dan diwariskan dari generasi ke generasi," serunya.

Lebih dari sekadar wisata sejarah, perjalanan ini memberikan pengalaman spiritual yang mendalam. Dengan menelusuri jejak Islam di Kudus, peserta nggak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga memahami bagaimana warisan Islam tetap lestari hingga kini.
Kudus, dengan segala peninggalan sejarahnya, terus menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang ingin belajar dan meresapi nilai-nilai Islam yang penuh makna. Nggak terkecuali para peserta walking tour yang didominasi anak muda tersebut.
Pada akhir perjalanan, mereka pun diajak ke Galeri Seni Menara Kudus (SMK). Sambil menunggu waktu berbuka, mereka belajar kaligrafi, mulai dari memahami huruf hingga praktik penulisan.
Pemilik galeri, Muhammad Nur Syamsul Huda menjelaskan bahwa kaligrafi bukan sekadar bakat khusus, melainkan keterampilan yang dapat diasah melalui kebiasaan dan latihan.

Selain seni klasik, galeri ini juga mendorong kreativitas dengan memanfaatkan bahan bekas seperti kanvas, kuas, palet, kain goni, dan spons untuk membuat karya seni.
Walking tour Kampung Menara yang diadakan oleh Cerita Kudus Tuwa ini nggak hanya mengajak peserta menyusuri jejak sejarah, tetapi juga menghadirkan pengalaman belajar yang memperkaya wawasan budaya dan seni lokal.
Seperti yang disampaikan oleh Yusak, sang penggagas, kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap sejarah dan tradisi Kudus, serta memperkenalkan seni kaligrafi sebagai bagian dari warisan budaya yang terus berkembang.
Kalau kamu ke Kudus, tertarik untuk menyusuri tempat-tempat itu juga nggak, Millens? (Imam Khanafi/E03)