Inibaru.id – Pertikaian yang terjadi sudah seharusnya diselesaikan secara adil dan bijak untuk menciptakan perdamaian. Tapi, apa jadinya jika penyelesaian pertikaian melalui tawuran?
Nah, itulah yang terjadi di Dusun Nglurah, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar ini, Millens. Eits, jangan berpikir warga di sana hobi tawuran ya setiap ada persoalan. Acara yang diberi nama Tawur Dukutan ini merupakan tradisi yang memang sengaja diadakan kok.
Jadi, Tawur Dukutan adalah satu tradisi bagi warga Dusun Nglurah Lor dan Nglurah Kidul. Pelaksanaannya nggak boleh sembarang. Hari yang dipilih bertepatan pada waktu Dukut (Kalender Jawa) yakni Selasa Kliwon tiap tujuh bulan sekali.
Tujuannya adalah saling introspeksi dan pembelajaran atas apa yang terjadi di masa silam, yakni konflik atas dua dusun; Nglurah Lor yang dipimpin oleh Kyai Menggung dan Nglurah Kidul yang dinaungi Nyai Roso Putih. Konon, pertemuan mereka menimbulkan konflik hingga melibatkan warga dari dua wilayah tersebut.
Persiapan Tawur Dukutan
Nggak pakai senjata tajam dan batu, Dukut Tawuran menggunakan sesaji berbentuk tumpeng. Tumpeng tersebut berisikan nasi jagung, gudangan, hasil bumi, aneka jajan pasar, kendi berisi air sendang, serta membawa bara api dan kemenyan.
Ada pantangan yang nggak boleh dilakukan orang-orang yang ditunjuk untuk menyiapkan tumpeng. Mereka nggak boleh mencicipi hasil masakannya. Tapi menurut warga, rasa masakan yang dihidangkan selalu enak dan pas. Orang-orang yang memasak juga nggak sembarangan. Sesaji hanya boleh dimasak perempuan yang sedang datang bulan.
Setelah semua siap, sesepuh akan mengawali prosesi arak-arakan dan sesaji dibawa oleh perwakilan orang-orang dari kedua dusun. Mereka berpakaian menyerupai prajurit dengan atasan lurik dan bawahan celana selutut ditutupi oleh jarit atau kain.
Bukan Sembarang Orang
Sesaji ditata berbentuk persegi di atas tampah yang terbuat dari pelepah daun pisang. Kemudian sesaji diletakkan di dekat arca bentuk lingga dan yoni di sekitar komplek Situs Candi Menggung.
Setelah semua siap, sesepuh akan merapal doa-doa dan sesudahnya, tibalah prosesi puncak. Sesaji yang dibawa tadi bakal dibagi dua. Satu akan dibagikan kepada lelaki yang berdandan laiknya prajurit “yang terpilih”.
Sesaji diremas, lalu dimasukkan ke dalam pincuk daun (wadah dari daun pisang yang berbentuk kerucut) sebagai peluru untuk media Tawur Dukutan.
Orang-orang yang berdandan laiknya prajurit tadi memulai “perang”. Saling berlarian dan melemparkan sesaji, inilah yang menjadi simbol pertikaian. Tak elak beberapa warga yang menonton ikut terkena lemparan. Namun bukannya sebal, mereka justru semringah. Mereka percaya hal ini akan memberikan rezeki bagi mereka yang terkena lemparan peluru sesaji.
Konklusi Tawur Dukutan
Uniknya, prosesi “tawuran” akan selesai dengan sendirinya saat beberapa prajurit yang terpilih merasa capai. Selanjutnya mereka akan duduk bersama dengan diiringi warga yang mendekat dan memakan sesaji yang sebelumnya telah disisihkan.
Saat acara berakhir, semua dianggap selesai dan yang terlibat “tawuran” nggak ada yang boleh menyimpan dendam sedikitpun.
Malam harinya, digelar sebuah pagelaran wayang kulit. Lakon dan dalang bakal dirahasiakan untuk memancing rasa ingin tahu warga.
Kalau kamu melihat langsung prosesi ini, mungkin bakal mengira ini tawuran sungguhan. Tapi beneran kok ini semua hanya agenda rutin budaya setempat.
Pesan yang pengin disampaikan adalah sudah seharusnya manusia saling memaafkan dan duduk bersama. Hm, kamu setuju nggak Millens? (Lip,Etn/IB31/E05)