Inibaru.id – Tradisi pernikahan dengan adat Jawa memang penuh dengan berbagai tahapan dan persyaratan. Nah, salah satu tradisi yang cukup unik adalah pingitan sebelum menikah. Sebenarnya, apa sih tujuan dari tradisi ini?
Menurut keterangan yang diungkap Repository Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, tradisi pingitan dilakukan sebelum akad nikah dan diterapkan kepada calon pengantin perempuan. Dia nggak boleh pergi ke luar rumah, termasuk menemui calon suaminya dalam kurun waktu tertentu sampai hari H akad nikah dilangsungkan.
Terkesan seksis dan hanya menyasar ke kaum perempuan saja ya? Meski begitu, masih banyak masyarakat Jawa yang menerapkannya. Alasannya, hal ini diperlukan demi mencegah calon pengantin perempuan terkena marabahaya.
Salah satu tokoh populer yang harus menjalani tradisi pingitan ini adalah RA Kartini. Kabarnya, dia menjalani tradisi pingitan di usia yang sangat muda, yaitu 13 tahun. Beda dengan penerapan tradisi pingitan pada saat ini, Kala itu, Kartini dipingit sampai ada laki-laki datang melamarnya secara resmi. Artinya, Kartini harus menjalaninya selama bertahun-tahun!
Kisah ini diungkap di situs resmi milik Museum Kebangkitan Nasional yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Dalam unggahan tersebut, disebutkan bahwa Kartini muda dikenal sebagai pribadi yang lincah dan sering bergaul dengan teman-temannya di luar rumah. Namun, semenjak menjalani tradisi pingitan, mau nggak mau dia harus berada di rumah saja.
Lebih dari itu, karena merupakan keturunan bangsawan, Kartini juga harus belajar untuk berbicara dengan suara yang halus. Cara berjalan hingga kebiasaan menundukkan kepala saat ada orang tua lewat juga harus sesuai dengan standar putri bangsawan, Millens.
Karena menghabiskan banyak waktu di rumah saja dan mempelajari berbagai aturan yang terkesan kaku, Kartini pun merasa kesepian. Untungnya, dia nggak buta aksara sebagaimana sebagian besar kaum perempuan muda pada masa itu sehingga bisa membaca buku, surat kabar, hingga majalah. Berkat apa yang dia baca itulah, Kartini semakin bertekad memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
Dia berani mengajak ayahnya, Bupati Sosroningrat berdiskusi mengenai hal ini. Ayahnya akhirnya luluh dan mau mengerti kegelisahan anaknya. Kartini yang dalam empat tahun hanya lima kali keluar rumah, yaitu saat ziarah kubur pada awal-awal bulan Ramadan, akhirnya diperbolehkan keluar rumah. Bahkan, bersama dengan saudari-saudarinya, mereka diajak sang ayah melakukan perjalanan dinas pada 1896.
Baca Juga:
Menengok Kamar Pingit Kartini di JeparaPada 2 Mei 1898, ketiga anaknya benar-benar dibebaskan dari tradisi pingitan dan dilibatkan dalam perayaan penobatan Ratu Wilhelmina yang dilakukan di Semarang. Meski banyak masyarakat Jawa yang mencibir keputusan ini, Sosroningrat nggak peduli. Dia bahkan membiarkan ketiga anaknya pergi mengunjungi desa-desa di seantero Jepara untuk mendengar keluh kesah dan permasalahan yang dihadapi rakyat kecil.
Pada akhirnya, Kartini dan saudari-saudarinya mampu membuat banyak perubahan, khususnya dalam perjuangan dan pendidikan kaum hawa. Semangat ini nggak disangka justru muncul dari tradisi pingitan.
Untungnya, tradisi pingitan pada zaman sekarang sudah jauh berbeda dari zaman Kartini hidup. Kini, pingitan biasanya hanya dilakukan selama beberapa hari. Itu pun biasanya dilakukan hanya sebagai memenuhi persyaratan tradisi dan tidak membuat calon pengantin perempuan bosan di rumah.
Kalau di lingkunganmu, apakah tradisi pingitan sebelum menikah masih sering dilakukan, Millens? (Arie Widodo/E05)